Mengapa coaching itu penting?
Dari berbagai studi terungkap bahwa sebenarnya karyawan itu menyukai kegiatan semacam training, seminar, workshop, dan semisalnya. Apalagi jika misalnya kegiatan semacam itu diadakan di luar kantor, katakanlah seperti di puncak, di hotel, di luar
Selain itu, secara manusiawi pun sebenarnya
perusahaan atau pimpinan akan lebih bangga, lebih bahagia dan lebih senang
kalau sanggup mengirim anak buahnya ke tempat pelatihan, seminar atau workshop.
Mengapa? Normalnya, manusia itu akan lebih bahagia kalau bisa memberi apa yang
dibutuhkan orang lain. Apalagi orang lain yang diberi itu adalah orang yang
selama ini membantu atau bekerja dengannya.
Cuma, dalam prakteknya hanya sedikit
perusahaan atau organisasi yang sanggup mengirim anak buahnya ke tempat
pelatihan, seminar atau workshop. Mengapa? Tentu ini sebabnya beragam. Mungkin
ada yang disebabkan dananya tipis. Training, seminar atau workshop sekarang ini
biayanya gila-gilaan. Apalagi jika diadakan di tenmpat-tempat yang elit. Meski
semua mengakui ini penting tetapi prakteknya hanya perusahaan atau organisasi
tertentu saja yang mau dan mampu.
Selain karena dana, waktu pun juga menjadi
masalah. Untuk sebagian organisasi atau perusahaan, bisa dibilang tidak ada
waktu untuk mengirim anak buah ke tempat pelatihan yang memakan waktu lebih
dari satu hari. Ini karena pekerjaan di kantor sendiri numpuk sampai ada yang
lembur segala. Mengirim anak buah ke tempat semacam itu bisa dianggap
pemborosan. Tak hanya soal dana dan waktu, efektivitas training, seminar dan
warkshop, pun menjadi perhitungan sendiri.
Kalau mencermati berbagai hasil
penelitian, ternyata tidak secara otomatis kegiatan training, seminar atau
workshop itu bisa efektif bagi organisasi atau perusahaan. Secara hasil,
penelitian membaginya menjadi tiga kategori, yaitu: a) positive transfer, b)
negative transfer, dan c) poor transfer.
Kita pasti sepakat bahwa meningkatkan skill
karyawan (dalam pengertian yang luas) itu penting. Soal caranya bagaimana, ini
memang butuh penyesuaian berdasarkan keadaan kita masing-masing. Untuk sebagian
kita yang kebetulan belum bisa meningkatkan karyawan dengan mengirim mereka ke
pelatihan, seminar atau workshop, cara lain yang perlu kita lakukan adalah
membudayakan coaching
Coaching adalah pembinaan. Secara
teoritis, coaching adalah proses pengarahan yang dilakukan atasan / senior
untuk melatih dan memberikan orientasi kepada bawahanya tentang realitas di
tempat kerja dan membantu mengatasi hambatan dalam mencapai prestasi kerja yang
optimal. Kegiatan ini akan sangat tepat diberikan kepada orang baru,
orang yang menghadapi pekerjaan baru, orang yang sedang menghadapi masalah
prestasi kerja atau orang yang menginginkan pembinaan kerja. Tujuannya adalah
untuk memperkuat dan menambah kinerja yang telah berhasil atau memperbaiki
kinerja yang bermasalah
Kalau diuraikan dalam kata-kata, manfaat coaching
ini antara lain:
1. Meningkatkan
TC ke DC
Istilah ini saya pinjam dari literatur
kompetensi. Di sana
dikatakan bahwa TC (threshold competency) adalah kompetensi dasar yang dimiliki
seseorang dalam melaksanakan pekerjaannya tetapi kompetensi ini belum bisa
dibilang sebagai keunggulan. Jika seorang sekretaris baru bisa menyalin surat
ke komputer, jika seorang operator hanya bisa mengangkat telepon, jika seorang
sales baru bisa mengetahui produk dan menelpon orang atau mengirim fak
penjualan, ini semua adalah TC. Memang itu tugas dasarnya.
Persoalan yang kita hadapi adalah,
bagaimana meningkatkan TC seseorang menjadi DC? Disinilah coaching berperan.
Kalau kita hanya menyerahkan (memasrahkan) urusan ini kepada masing-masing
individu, bisa-bisa saja. Cuma saja di sini kerap menimbulkan masalah, sebab
tidak semua individu sadar, tidak semua individu tahu, dan tidak semua individu
menempuh cara yang efektif dan efisien untuk meningkatkan keahliannya dari TC
ke DC. Konon, 98
% dari usaha untuk membangun kompetensi terjadi melalui pekerjaan yang dilakukan
2. Jalan
menemukan 3R
Meski semboyannya SDM itu aset, tetapi
prakteknya tidak seluruhnya begitu. Banyak SDM yang belum menjadi aset. Kata
orang-orang SDM: “Hanya SDM yang bagus yang menjadi
aset usaha”. Bagus ini apa penjelasannya? Penjelasan
yang umum bisa kita singkat dengan 3 R: right people, right job and right
performance.
Persoalan yang kita hadapi adalah
bagaimana menemukan 3R ini? Tentu kita sadar bahwa 3R ini bukan sebuah hasil
yang final (one-off). Amat sangat jarang kita bisa langsung menemukan orang
yang tepat untuk ditempatkan di pekerjaan yang tepat agar bisa mencapai
performansi yang tepat (tinggi). Yang
sering terjadi, 3R ini ini dicapai melalui proses. Jangan kan karwayan, presiden atau menteri atau
pejabat negara yang sudah diseleksi sedemikian rupa pun tidak bisa langsung
mencapai 3R ini. Bahkan waktu seratus hari pun dikatakan belum valid untuk
menilai kinerja presiden dan menterinya.
Karena itu, coaching bisa menjadi
salah satu jalan untuk menemukan 3R. Kalau pun 3R ini belum bisa diwujudkan ke
tingkat yang ideal, tapi setidak-tidaknya coaching yang kita lakukan akan
memperluas wilayah “interkoneksi” antara ‘workforce requirement’ dan ‘workfoce
capabilities’. Kalau pekerjaan yang ada menuntut orang yang punya skill berskala 7, sementara
skill orang-orang yang ada hanya sampai pada skala 5, ini tentu wilayah
interkoneksinya belum nyambung. Supaya nyambung, harus dinaikkan.
3. Jalan
menemukan pemimpin dari dalam
Dulu, praktek bajak-membajak tenaga ahli
pernah menjadi isu besar di beberapa media massa . Sekarang pun praktek semacam ini masih
kerap dilakukan meski sudah jarang dijadikan berita. Adakah sesuatu yang salah
dengan praktek bajak-membajak ini? Secara konsep memang tidak. Cuma dalam
prakteknya, tidak semua orang yang kita bajak itu menjadi “berkah”. Ada yang malah menjadi
beban. Artinya, meski konsep ini bisa jadi benar di teorinya tetapi untuk
mempraktekkannya butuh konteks yang tepat dan alasan yang spesifik.
Kalau melihat hasil studi yang dilakukan
Jim Collin), rupanya praktek bajak-membajak ini kurang digemari oleh para
pemimpin usaha yang sudah sanggup menggerakkan usahanya dari good ke great. Mereka rupanya punya tradisi untuk mengembangkan seorang
pemimpin (senior atau tenaga ahli) dari dalam. Dipikir-pikir, ini memang
rasional. Orang dalam yang kita kembangkan, akan memiliki pengetahuan tentang
keadaan secara lebih mendalam ketimbang
tenaga baru yang kita bajak.
Nah, kalau melihat ke sini, coaching bisa
kita jadikan instrumen atau jalan untuk melahirkan seorang pemimpin dari dalam.
Dilihat dari efektivitas dan efisiensinya,
cara ini mungkin lebih menjamin ketimbang membajak tenaga baru yang
masih “abu-abu”. Kalau pun orang yang kita coaching itu tidak menjadi pemimpin
di tempat kita, tetapi setidak-tidaknya kerjanya sudah lebih bagus.
Hambatan Di Lapangan
Apa yang perlu di-coaching-kan? Kalau mengacu pada standar yang umum, yang
perlu di-coaching-kan adalah hard skill dan soft skill (istilah lain: soft
competency dan hard competency, job skill dan mental skill). Semua karyawan menginginkan skillnya naik, tapi cara yang
mereka inginkan ternyata (yang paling digemari) adalah face-to-face coaching di
tempat kerja. 88 % jawaban responden yang diteliti meyakini bahwa memiliki
seorang mentor atau coacher di tempat kerja merupakan hal yang penting untuk
kemajuan karirnya (CCL, Emerging Leader Research Survey Summary Report, 2003)
Beberapa hal yang kerap menghambat terlaksananya kegiatan yang mulia ini,
misalnya:
Pertama, budaya menghakimi / memarahi. Kita langsung memarahi karyawan saat
melakukan kesalahan. Marah terkadang tidak bisa dihindari tetapi yang kerap
kita lupakan adalah apa yang kita lakukan setelah marah. Kalau yang kita
lakukan membenci atau menjauhi, tentu akan berbeda efeknya dengan ketika yang
kita lakukan setelah itu adalah mendekati dan meng-coach-nya.
Kedua, budaya membiarkan. Kita membiarkan karyawan bekerja sendiri-sendiri
karena kita malas atau tidak peduli dengan skill mereka. Membiarkan seperti ini
tentu berbeda dengan membiarkan yang punya pengertian memberi kesempatan untuk
mandiri dalam menerapkan pengetahuan.
Ketiga, budaya mengerjakan sendiri. Kita menangani
sebagian besar pekerjaan dan enggan untuk mendelegasikannya kepada yang lain
karena kurang percaya
Keempat, budaya mengharapkan hasil yang instan. Kita mengharapkan hasil yang instan dari
apa yang kita instruksikan pada mereka.
Kelima, budaya ”arogansi birokrasi”. Kita menjaga jarak dengan karyawan untuk melindungi
gengsi atau kita enggan turun ke bawah. Umumnya kita, semakin tinggi jabatan
atau posisi, justru semakin jauh dari realitas yang bersentuhan langsung dengan
manusia dan masalahnya di bawah.
Kalau mengacu pada teori pendidikan, meng-coach karyawan itu sebenarnya
juga termasuk mendidik. Bicara soal pendidikan ini mungkin ada satu hal yang
perlu kita ingat bahwa metode yang kita gunakan dalam mendidik orang itu jauh
lebih berperan penting ketimbang materi yang kita sampaikan. Materi yang bagus akan diresponi tidak bagus kalau metode
yang kita gunakan tidak cocok dengan keadaan orang yang kita coach.
Beberapa hal yang
penting
Untuk sebagian orang, kegiatan meng-coaching ini mungkin sudah menjadi
sebuah realitas tetapi belum ada namanya.
Artinya, kegiatan ini sudah dipraktekkan tetapi tidak memakai nama
coaching. Sebaliknya juga, mungkin untuk sebagian orang, kegiatan meng-coaching
ini hanya sebuah nama tetapi tanpa realitas. Artinya, kita hanya tahu apa itu
coaching, manfaatnya apa, tujuannya apa, tetapi tidak pernah kita praktekkan.
Terlepas itu sudah menjadi realitas atau baru sebatas nama, tetapi
sebetulnya ada beberapa hal yang penting untuk diingat, yaitu:
1.
Memiliki
data yang akurat
Data di sini mungkin tidak harus kita artikan sebagai data dalam pengertian
yang formal dan rumit. Data di sini bisa juga kita artikan sebagai catatan pribadi
yang berisikan tentang gap antara skill yang dimiliki karyawan dengan tuntutan pekerjaan. Bisa juga berisi
masalah yang dihadapi si karyawan dalam kaitannya dengan kinerjanya. Bisa pula
berisi tentang perkembangan si karyawan yang kita coaching itu dari waktu ke
waktu. Dengan memiliki apa yang kita sebut data itu, berarti ketika kita hendak
meng-coach orang, kita sudah tahu apa yang perlu dan apa yang belum perlu, mana
yang perlu ditekankan dan mana yang belum perlu, dan seterusnya.
2.
Menemukan
metode yang ”teachable”
Seperti yang saya katakan di muka, bahwa dalam meng-coaching ini memang
kita dituntut untuk memerankan diri sebagai pendidik. Hal yang terpenting di
sini adalah menggunakan atau menemukan metode mendidik yang dapat membuat orang
yang kita didik itu bisa mendidik orang lain dan begitu seterusnya. Dengan
begitu, tanpa harus kita yang turun langung, program coaching tetap berjalan di
tempat kita. Ini tentu sangat positif. Selain meminterkan orang lain, ini juga
bisa membentuk lingkungan yang positif.
3.
Menghidupkan,
bukan mematikan
Ini soal cara bagaimana meng-coach orang. Meski kita sudah sama-sama tahu
bahwa cara yang bagus adalah menghidupkan semangat orang, tetapi dalam
prakteknya belum tentu pengetahuan itu kita gunakan. Ada cara yang menghidupkan
tetapi ada cara yang mematikan, ada cara
yang mendorong tetapi ada cara yang
malah menarik. Cara yang kita gunakan terkadang bisa bertentangan dengan niat
yang kita maksudkan. Karena itu, meski niat kita baik,
namun kalau cara yang kita gunakan itu mematikan, me-looking-down-kan, atau
menghinakan, bisa jadi hasilnya bukan malah bagus. Semoga bermanfaat.(DES/10571)
Sumber : ”Coaching di tempat kerja” (AN.Ubadillah)

No comments:
Post a Comment