REWARD MANAGEMENT
Esensi Reward Management
Seiring dengan meningkatnya skala kompleksitas di dunia kerja, penerapan konsep reward itu memiliki alasan-alasan yang lebih relevan dan lebih kontekstual. Kajian manajemen mengungkap, antara lain:
§ Para atasan punya waktu yang semakin sedikit untuk meng-influence bawahannya atau membentuk perilakunya dengan cara yang “memaksa” (coercive). Supaya tidak banyak waktu yang terbuang, para atasan harus bisa menjadi pembina yang sanggup menghidupkan spirit atau jiwa kerja para bawahan. Dalam kaitannya dengan ini, di sinilah reward berperan.
§ Para atasan semakin sering memberikan tugas atau pekerjaan yang di luar job description atau di luar rutinitas. Ini terkait dengan munculnya perubahan yang tiba-tiba dalam dunia bisnis di era informasi ini. Agar kontrol terus ada, berarti yang dibutuhkan adalah menciptakan lingkungan kerja yang positif. Reward adalah alat untuk menciptakan lingkungan kerja semacam itu.
§ Untuk perusahaan yang cash-nya sedang bermasalah, reward dan pengharkatan merupakan cara yang paling murah untuk meningkatkan kinerja karyawan.
Dengan kata lain, reward manajemen itu bukan soal kebaikan-kebaikan yang didorong perasaan subyektif. Ini adalah strategi yang perlu dipilih dalam menghadapi perkembangan tantangan organisasi usaha di era informasi ini. Tantangan itu kalau mendapat respon yang tepat, ia akan menjadi keuntungan (benefit). Tapi kalau tidak, ia akan berubah menjadi tekanan (stressor).
Lalu, kenapa mesti butuh manajemen? Kalau konteksnya organisasi usaha, tentu maksud pemberian reward itu, entah dalam bentuk bonus, insentif, gaji tambahan, pansiun, atau apapun, adalah peningkatan kinerja dalam arti yang seluas-luasnya. Karena sasarannya seperti itu, maka dibutuhkanlah manajemen, dalam arti pengelolaan. Tanpa manajemen, reward itu seringkali salah sasaran atau tidak berefek pada kinerja (inefficient dan ineffective).
Lain soal kalau memang dari awal sudah diniati untuk sodakoh atau sebagai bentuk kepedulian sosial tertentu. Yang menjadi masalah ‘kan kita ingin ada peningkatan kinerja dengan reward itu tapi kenyataannya tidak terwujud. Selain sudah rugi secara ekonomi, batin kita pun terganggu (economic and psychology cost). Fakta adanya penyimpangan ini tidak saja terjadi di Indonesia .
Terbukti, tulisan Nic Paton menggambarkan kekecewaan para HR director di Inggris terhadap efektivitas bonus bagi kinerja. Berdasarkan polling terhadap 183 HR direktur, 63% mengakui reward seperti bonus itu tidak efektif untuk menaikkan kinerja. Yang agak lebih lucu lagi, 82 % HR direktur tidak pernah mengevalusi hubungan antara bonus dan kinerja. 7 dari 10 orang mengakui bahwa bonus itu diberikan memang karena dua alasan saja: a) tekanan karyawan atau b) supaya kelihatan kren dari luar.
Pertanyaannya adalah, apanya yang salah? Kenapa esensi itu bisa hilang di lapangan? Semestinya seperti apa reward itu dimanajemani agar efektif? Untuk mengungkap persoalan dan jawaban yang lebih kontekstual dan esensial, People & Business mendukung terselenggaranya konferensi Reward Management Kedua, di Hotel Aryaduta Jakarta , tanggal 11-12 April 2007 lalu. Pihak IntiPesan sebagai penyelenggara, mengundang sejumlah praktisi dan pakar untuk menjelaskan bagaimana sebetulnya Reward Management itu diaplikasikan.
Mereka yang diundang itu antara lain:
§ Sylvano Damanik (President Director Hay Croup Indonesia )
§ Rachman (Praktisi HRD)§
§
§
§
Nah, lalu apa dong penyimpangan yang kerap muncul? Dari pemaparan 7 pembicara yang hadir, di bawah ini adalah poin-poin yang bisa digunakan sebagai dasar mengaudit penyimpangan dalam praktek pemberian reward di perusahaan.
Pertama, kegagalan membedakan jalan dan tujuan dalam praktek. Dalam teori, pasti semua orang tahu perbedaan jalan dan tujuan itu. Namun dalam praktek, ini belum tentu. Teorinya, pasti kita tahu bahwa reward itu statusnya adalah jalan. Karena itu, harus dipakai sebagai jalan untuk mencapi sasaran. Artinya, kalau reward itu diberikan sebagai reaksi atas tuntutan dan tekanan, sebagai upaya menciptakan kesan (citra) kren, tidak pernah dievalusi, tidak pernah dikontekstualisasikan, ya ini secara tidak langsung telah mengubah posisi reward yang semula sebagai jalan ke sebagai sasaran.
Perusahaan memberikan reward namun tujuannya tidak jelas, reward for reward only. A.Rahman, seorang praktisi HRD, berkesimpulan, kompensasi itu harus dilihat sebagai strategi untuk mencapai sasaran bisnis. Ini yang pertama. Kedua, kompensasi itu bukan hanya untuk menarik, memotivasi dan mempertahankan karyawan, tetapi juga untuk meningkatkan daya saing organisasi. Kata kuncinya adalah, it’s strategy, not objectives, it’s the way, not the ends.
Kedua, tidak komprehensif dan tidak integratif. Apa yang memotivasi orang dalam bekerja? Apa yang membuat orang itu satisfied dengan tempat kerjanya? Kalau itu dijawab gaji, bonus, pinjaman kredit rumah, kendaraan, tentu ini semua benar. Namun yang perlu diingat dalam praktek, bukan itu saja sumber motivator. Kalau bonus diberikan tapi dimunculkan juga penilaian, penyikapan dan perlakuan yang bernada demotivator, looking down, atau disposal, bukan tidak mungkin bonus itu akan hilang nilai esensialnya.
Karena itu, di sinilah perlu menerapkan sebuah konsep yang oleh Sylvano Damanik ,Presdir HayGroup Indonesia , disebut Total Rewards (TRs). TRs adalah sebuah konsep imbal-jasa (reward) yang mengintegrasikan berbagai cara dalam pemberian reward atas kontribusi karyawan. Imbalan ini bisa dalam bentuk finansial atau non-finansial. Berbagai cara ini perlu didesain se-holistik mungkin atau dikemas dalam satu paket yang saling mendukung, saling memperkuat (mutual reinforcing), dan saling terkait (interrelated).
Ketiga, kurang kreatif dalam menemukan berbagai cara dan bentuk. Menurut Bob Nelson (1996), penulis buku 1001 Ways to Reward Employees, rendahnya kreativitas para atasan telah menyebabkan mereka kurang optimal dalam memberikan reward. Padahal cara itu banyak. Ada yang formal dan non-formal, bisa finansial dan non-finansial, bisa tangible dan bisa intangible, dan seterusnya dan seterusnya.
Keempat, kurang spesifik sasarannya. Hasil studi kasus yang dipaparkan Cahyo Winarto dari Bosowo Group, menunjukkan, tidak semua komponen reward itu efektif untuk mencapai seluruh tujuan. Ada komponen reward yang memang pas untuk mempertahankan karyawan tapi ada juga yang pas untuk menaikkan performansi kerja. Contohnya di sini adalah benefit. Benefit adalah bagian dari remunerasi sebagai tambahan di luar gaji pokok. Bisa diwujudkan dalam bentuk uang tunai dan non-tunai. Benefit ini bukan untuk memotivasi karyawan tetapi untuk mempertahankan mereka.
Karena itu, tuntutannya adalah, spesifikkan sasaran. Temukan impact yang benar-benar ingin anda lihat di tempat kerja se-spesifik mungkin. Menurut Sylvano , menemukan impact ini tidak saja terkait dengan hasil, tetapi juga dengan strategy. Jika kita gagal menemukan impact, maka kita pun akan gagal menemukan strategi yang pas utuk merealisasikan hasil yang kita inginkan. “Strategy cannot be realized unless it’s impact on work is understood.”
Kelima, kurang tepat korelasinya dan waktunya. Menurut Andriani Sukmoro , Human Resource Director GE Money, reward itu harus korelatif dengan performa si penerima reward. Karena itu, dibutuhkan evaluasi atas performansi karyawan. Selain itu harus tepat waktunya. Usahakan reward itu diberikan secepat mungkin begitu pekerjaan itu selesai atau begitu penugasan selesai. Kalau diberikan terlalu lama jarak waktunya, ini biasanya menganggu efektivitas reward.
Best Practice Ideas
Pertama, tetapkan sasaran yang bisa anda jadikan ukuran dan alasan untuk menentukan reward. Sasaran itu pada gilirannya akan menyeleksi orang apakah dia termasuk outstanding performer, average performer atau low performer. Dari sini pula akan kita ketahui bentuk dan jumlah reward yang layak untuk dikeluarkan / diberikan. Menurut Budi Purwanto , karyawan harus tahu apa yang diharapkan dari mereka supaya bisa mengubah perilakunya. Supaya mereka tahu, maka sasaran yang kita berikan pun harus jelas.
1. Tetapkan sasaran sejelas mungkin
2. Berikan pembinaan dan bimbingan.
3. Lakukan evaluasi konstruktif.
4. Kaitkan performansi dengan reward.
|
Kemajuan individu:
§ Investasi training dan pengembangan personal§
§ Peningkatan karir
Total penggajian / Pembayaran
§ Gaji pokok
§ Variable pay: bonus, insentif, benefit, dst
§ Penghargaan& pengakuan
§ Penanganan masalah-masalah SDM
§ Kualitas leadership§ Hubungan antarsesama pekerja
§ Pekerjaan
§ Partisipasi
§ Komunikasi
§ Kepercayaan
Harapan Masa Depan:
§ Visi dan nilai-nilai§ Kemajuan perusahaan dan kesuksesannya
§ Reputasi dan imej perusahaan
Ketiga, hindari munculnya kesenjangan sosial. Misalnya saja reward itu hanya diberikan kepada kelompok atasan tertentu. Biasanya ini malah menimbulkan domotivator dan menciptakan hidden conflict yang berpotensi merusak kinerja organisasi. Buatlah desain pemberian reward yang kira-kira menyentuh semua pihak berdasarkan keadaannya. Ada beberapa hal yang harus disamaratakan (keadilan) tetapi ada juga yang harus dibedakan (based on performance, competency, position, etc).
Keempat, buatlah seunik mungkin, bernilai dan punya daya saing tinggi.Unik di sini maksudnya jangan sampai finansial reward yang kita berikan itu ditafsirkan sebagai “cara lain untuk menyiasati gaji”. Reward harus berbeda dengan gaji supaya bisa memberikan kesan yang berbeda. Sedangkan bernilai artinya reward itu harus berupa sesuatu yang memang benar-benar dibutuhkan oleh si penerima. “Match the reward to the person”.
§ Menarik dan layak (for retaining)
§ Equal pay for equal job (based on competence)
§ Bersaing
§ Mempertahankan karyawan
§ Updated regularly
§ Unik antar satu dan lain perusahaan
· Sumber:
| <><>>
Kelima, pikirkan talent-pool. Untuk jangka panjang, perusahaan perlu membuat wadah yang khusus untuk membina, melatih, dan mengembangkan orang-orang yang berbakat. Ciri-cirinya, menurut Joris de Fretes, Human Capital Director, Excelcomindo Pratama Tbk, mereka menyukai tantangan, keberhasilan yang terukur, umpan balik yang jujur, reward yang berhubungan dengan prestasi, kesempatan promosi, komunikasi yang baik, hubungan atasan-bawahan yang hangat.
Hubungannya apa dengan reward dan kinerja. Sejumlah pakar manajemen menyarankan begini: give the best for the best. Agar tidak keliru atau salah alamat, maka pool dibutuhkan. Tapi tentunya harus didahului denan penilaian yang fair agar tidak muncul kesenjangan dan rasa ketidakadilan. Selain itu, pool di sini juga berfungsi menghindari kefatalan. Bentuk kefatalan yang paling fatal adalah ketika perusahaan memberikan the best kepada orang yang bukan the best. Atau juga tidak memberikan the best kepada orang yang the best.
Nah, dengan memahami persoalan-persoalan dominan dalam reward management, memedomani esensinya, dan menerapkan berbagai bentuk terobosan yang kontekstual, maka jarak antara reward dan kinerja menjadi semakin terbaca dengan mudah. Kalau sudah peningkatan kinerja yang menjadi sasaran, berarti citra dapat dan pahala pun dapat.