Sunday, June 10, 2012

REWARD MANAGEMENT
Antara Pahala, Citra & Kinerja


Esensi Reward Management
Ada dua hal yang cukup mendasar dalam Reward Management (RM) atau manajemen imbal jasa itu. Pertama, sejauhmanakah reward itu diperlukan? Kedua, kenapa manajemen dibutuhkan di sini? Secara alamiyah, praktek imbal jasa ini sudah dikenal sejak munculnya hubungan kerja antaramanusia, jauh sebelum Taylorlahir. Asumsi dasarnya, jika seseorang itu diberi reward yang bagus, ia akan menunjukkan hasil kerja yang bagus.
Seiring dengan meningkatnya skala kompleksitas di dunia kerja, penerapan konsep reward itu memiliki alasan-alasan yang lebih relevan dan lebih kontekstual. Kajian manajemen mengungkap, antara lain:

§ Para atasan punya waktu yang semakin sedikit untuk meng-influence bawahannya atau membentuk perilakunya dengan cara yang “memaksa” (coercive). Supaya tidak banyak waktu yang terbuang, para atasan harus bisa menjadi pembina yang sanggup menghidupkan spirit atau jiwa kerja para bawahan. Dalam kaitannya dengan ini, di sinilah reward berperan.

§ Para atasan semakin sering memberikan tugas atau pekerjaan yang di luar job description atau di luar rutinitas. Ini terkait dengan munculnya perubahan yang tiba-tiba dalam dunia bisnis di era informasi ini. Agar kontrol terus ada, berarti yang dibutuhkan adalah menciptakan lingkungan kerja yang positif. Reward adalah alat untuk menciptakan lingkungan kerja semacam itu.

§ Untuk perusahaan yang cash-nya sedang bermasalah, reward dan pengharkatan merupakan cara yang paling murah untuk meningkatkan kinerja karyawan.

Dengan kata lain, reward manajemen itu bukan soal kebaikan-kebaikan yang didorong perasaan subyektif. Ini adalah strategi yang perlu dipilih dalam menghadapi perkembangan tantangan organisasi usaha di era informasi ini. Tantangan itu kalau mendapat respon yang tepat, ia akan menjadi keuntungan (benefit). Tapi kalau tidak, ia akan berubah menjadi tekanan (stressor).

Lalu, kenapa mesti butuh manajemen? Kalau konteksnya organisasi usaha, tentu maksud pemberian reward itu, entah dalam bentuk bonus, insentif, gaji tambahan, pansiun, atau apapun, adalah peningkatan kinerja dalam arti yang seluas-luasnya. Karena sasarannya seperti itu, maka dibutuhkanlah manajemen, dalam arti pengelolaan. Tanpa manajemen, reward itu seringkali salah sasaran atau tidak berefek pada kinerja (inefficient dan ineffective).

Lain soal kalau memang dari awal sudah diniati untuk sodakoh atau sebagai bentuk kepedulian sosial tertentu. Yang menjadi masalah ‘kankita ingin ada peningkatan kinerja dengan reward itu tapi kenyataannya tidak terwujud. Selain sudah rugi secara ekonomi, batin kita pun terganggu (economic and psychology cost). Fakta adanya penyimpangan ini tidak saja terjadi di Indonesia.

Terbukti, tulisan Nic Patonmenggambarkan kekecewaan para HR director di Inggristerhadap efektivitas bonus bagi kinerja. Berdasarkan polling terhadap 183 HR direktur, 63% mengakui reward seperti bonus itu tidak efektif untuk menaikkan kinerja. Yang agak lebih lucu lagi, 82 % HR direktur tidak pernah mengevalusi hubungan antara bonus dan kinerja. 7 dari 10 orang mengakui bahwa bonus itu diberikan memang karena dua alasan saja: a) tekanan karyawan atau b) supaya kelihatan kren dari luar.

Pertanyaannya adalah, apanya yang salah? Kenapa esensi itu bisa hilang di lapangan? Semestinya seperti apa reward itu dimanajemani agar efektif? Untuk mengungkap persoalan dan jawaban yang lebih kontekstual dan esensial, People & Business mendukung terselenggaranya konferensi Reward Management Kedua, di Hotel Aryaduta Jakarta, tanggal 11-12 April 2007 lalu. Pihak IntiPesansebagai penyelenggara, mengundang sejumlah praktisi dan pakar untuk menjelaskan bagaimana sebetulnya Reward Management itu diaplikasikan.

Mereka yang diundang itu antara lain:

§ Sylvano Damanik (President Director Hay Croup Indonesia)
§ Rachman (Praktisi HRD)
§ Cahyo Winarto (HR Director Bosowa Croup)
§ Nugroho Irawan (Director Hay Group Indonesia)
§ Budy Purnawanto (HR Director PT TigaraksaSatria)
§ Adriani Sukmoro (Human Resources Director GEMoney )

Beberapa Persoalan Di Lapangan
Menurut teori manajemen, kalau ada tindakan yang tidak mengenai sasaran, itu hampir pasti ada penyimpangan (the problem). Begitu juga dengan reward itu. Menurut NugrohoIrawan dari HayGroup, pemberian reward itu harus punya sasaran, antara lain: to attract, to retain, to motivate and to reward. Kalau ini tidak kena, berarti ada yang penyimpangan.

Nah, lalu apa dong penyimpangan yang kerap muncul? Dari pemaparan 7 pembicara yang hadir, di bawah ini adalah poin-poin yang bisa digunakan sebagai dasar mengaudit penyimpangan dalam praktek pemberian reward di perusahaan.

Pertama, kegagalan membedakan jalan dan tujuan dalam praktek. Dalam teori, pasti semua orang tahu perbedaan jalan dan tujuan itu. Namun dalam praktek, ini belum tentu. Teorinya, pastikita tahu bahwa reward itu statusnya adalah jalan. Karena itu, harus dipakai sebagai jalan untuk mencapi sasaran. Artinya, kalau reward itu diberikan sebagai reaksi atas tuntutan dan tekanan, sebagai upaya menciptakan kesan (citra) kren, tidak pernah dievalusi, tidak pernah dikontekstualisasikan, ya ini secara tidak langsung telah mengubah posisi reward yang semula sebagai jalan ke sebagai sasaran.

Perusahaan memberikan reward namun tujuannya tidak jelas, reward for reward only. A.Rahman, seorang praktisi HRD, berkesimpulan, kompensasi itu harus dilihat sebagai strategi untuk mencapai sasaran bisnis. Ini yang pertama. Kedua, kompensasi itu bukan hanya untuk menarik, memotivasi dan mempertahankan karyawan, tetapi juga untuk meningkatkan daya saing organisasi. Kata kuncinya adalah, it’s strategy, not objectives, it’s the way, not the ends.

Kedua, tidak komprehensif dan tidak integratif. Apa yang memotivasi orang dalam bekerja? Apa yang membuat orang itu satisfied dengan tempat kerjanya? Kalau itu dijawab gaji, bonus, pinjaman kredit rumah, kendaraan, tentu ini semua benar. Namun yang perlu diingat dalam praktek, bukan itu saja sumber motivator. Kalau bonus diberikan tapi dimunculkan juga penilaian, penyikapan dan perlakuan yang bernada demotivator, looking down, atau disposal, bukan tidak mungkin bonus itu akan hilang nilai esensialnya.

Karena itu, di sinilah perlu menerapkan sebuah konsep yang oleh Sylvano Damanik,Presdir HayGroup Indonesia, disebut Total Rewards (TRs). TRs adalah sebuah konsep imbal-jasa (reward) yang mengintegrasikan berbagai cara dalam pemberian reward atas kontribusi karyawan. Imbalan ini bisa dalam bentuk finansial atau non-finansial. Berbagaicara ini perlu didesain se-holistik mungkin atau dikemas dalam satu paket yang saling mendukung, saling memperkuat (mutual reinforcing), dan saling terkait (interrelated).

Ketiga, kurang kreatif dalam menemukan berbagai cara dan bentuk. Menurut Bob Nelson(1996), penulis buku 1001 Ways to Reward Employees, rendahnya kreativitas para atasan telah menyebabkan mereka kurang optimal dalam memberikan reward. Padahal caraitu banyak. Adayang formal dan non-formal, bisa finansial dan non-finansial, bisa tangible dan bisa intangible, dan seterusnya dan seterusnya.

Keempat, kurang spesifik sasarannya. Hasil studi kasus yang dipaparkan Cahyo Winarto dari Bosowo Group, menunjukkan, tidak semua komponen reward itu efektif untuk mencapai seluruh tujuan. Adakomponen reward yang memang pas untuk mempertahankan karyawan tapi ada juga yang pas untuk menaikkan performansi kerja. Contohnya di sini adalah benefit. Benefit adalah bagian dari remunerasi sebagai tambahan di luar gaji pokok. Bisa diwujudkan dalam bentuk uang tunai dan non-tunai. Benefit ini bukan untuk memotivasi karyawan tetapi untuk mempertahankan mereka.

Karena itu, tuntutannya adalah, spesifikkan sasaran. Temukan impact yang benar-benar ingin anda lihat di tempat kerja se-spesifik mungkin. Menurut Sylvano, menemukan impact ini tidak saja terkait dengan hasil, tetapi juga dengan strategy. Jika kita gagal menemukan impact, maka kita pun akan gagal menemukan strategi yang pas utuk merealisasikan hasil yang kita inginkan. “Strategy cannot be realized unless it’s impact on work is understood.”

Kelima, kurang tepat korelasinya dan waktunya. Menurut AndrianiSukmoro, Human Resource Director GE Money, reward itu harus korelatif dengan performa si penerima reward. Karena itu, dibutuhkan evaluasi atas performansi karyawan. Selain itu harus tepat waktunya. Usahakan reward itu diberikan secepat mungkin begitu pekerjaan itu selesai atau begitu penugasan selesai. Kalau diberikan terlalu lama jarak waktunya, ini biasanya menganggu efektivitas reward.

Best Practice Ideas
Di bawah ini ada panduan yang bisa dijadikan acuan untuk menjalankan reward management.

Pertama, tetapkan sasaran yang bisa anda jadikan ukuran dan alasan untuk menentukan reward. Sasaran itu pada gilirannya akan menyeleksi orang apakah dia termasuk outstanding performer, average performer atau low performer. Dari sini pula akan kita ketahui bentuk dan jumlah reward yang layak untuk dikeluarkan / diberikan. Menurut BudiPurwanto, karyawan harus tahu apa yang diharapkan dari mereka supaya bisa mengubah perilakunya. Supaya mereka tahu, maka sasaran yang kita berikan pun harus jelas.

1. Tetapkan sasaran sejelas mungkin
2. Berikan pembinaan dan bimbingan.
3. Lakukan evaluasi konstruktif.
4. Kaitkan performansi dengan reward.
Kedua, auditlah apakah sistem pemberian reward itu sudah menyeluruh atau belum. Menyeluruh di sini maksudnya sudah berupa komponen yang menyentuh aspek kebutuhan finansial (tangible) dan non-finansial (intangible). Jangan mengartikan reward hanya sebatas pada pemberian bonus, insentif, benefit, atau gaji tambahan. Buatlah reward itu total. Berikan penilaian, penyikapan dan perlakuan yang juga bisa membangkitkan jiwanya. Daftar evaluasi yang bisa kita jadikan acuan untuk mengukur sejauhmana tingkat ketotalan reward itu adalah berikut ini:

Kemajuan individu:
§ Investasi training dan pengembangan personal
§ Aplikasi Manajemen kinerja
§ Peningkatan karir

Total penggajian / Pembayaran
§ Gaji pokok
§ Variable pay: bonus, insentif, benefit, dst
§ Penghargaan& pengakuan

Lingkungan KerjaKondusif:

§ Penanganan masalah-masalah SDM
§ Kualitas leadership
§ Hubungan antarsesama pekerja
§ Pekerjaan
§ Partisipasi
§ Komunikasi
§ Kepercayaan

Harapan Masa Depan:
§ Visi dan nilai-nilai
§ Kemajuan perusahaan dan kesuksesannya
§ Reputasi dan imej perusahaan

Ketiga, hindari munculnya kesenjangan sosial. Misalnya saja reward itu hanya diberikan kepada kelompok atasan tertentu. Biasanya ini malah menimbulkan domotivator dan menciptakan hidden conflict yang berpotensi merusak kinerja organisasi. Buatlah desain pemberian reward yang kira-kira menyentuh semua pihak berdasarkan keadaannya. Ada beberapa hal yang harus disamaratakan (keadilan) tetapi ada juga yang harus dibedakan (based on performance, competency, position, etc).

Keempat, buatlah seunik mungkin, bernilai dan punya daya saing tinggi.Unik di sini maksudnya jangan sampai finansial reward yang kita berikan itu ditafsirkan sebagai “cara lain untuk menyiasati gaji”. Reward harus berbeda dengan gaji supaya bisa memberikan kesan yang berbeda. Sedangkan bernilai artinya reward itu harus berupa sesuatu yang memang benar-benar dibutuhkan oleh si penerima. “Match the reward to the person”.

<><><><><><> <><>


Prinsip Dasar Remuneration


§ Menarik dan layak (for retaining)

§ Equal pay for equal job (based on competence)

§ Bersaing

§ Mempertahankan karyawan

§ Updated regularly

§ Unik antar satu dan lain perusahaan

· Sumber: Cahyo Winarso (HR Director Bosowa Group)

Kelima, pikirkan talent-pool. Untuk jangka panjang, perusahaan perlu membuat wadah yang khusus untuk membina, melatih, dan mengembangkan orang-orang yang berbakat. Ciri-cirinya, menurut Joris de Fretes, Human Capital Director, Excelcomindo Pratama Tbk, mereka menyukai tantangan, keberhasilan yang terukur, umpan balik yang jujur, reward yang berhubungan dengan prestasi, kesempatan promosi, komunikasi yang baik, hubungan atasan-bawahan yang hangat.

Hubungannya apa dengan reward dan kinerja. Sejumlah pakar manajemen menyarankan begini: give the best for the best. Agar tidak keliru atau salah alamat, maka pool dibutuhkan. Tapi tentunya harus didahului denan penilaian yang fair agar tidak muncul kesenjangan dan rasa ketidakadilan. Selain itu, pool di sini juga berfungsi menghindari kefatalan. Bentuk kefatalan yang paling fatal adalah ketika perusahaan memberikan the best kepada orang yang bukan the best. Atau juga tidak memberikan the best kepada orang yang the best.

Nah, dengan memahami persoalan-persoalan dominan dalam reward management, memedomani esensinya, dan menerapkan berbagai bentuk terobosan yang kontekstual, maka jarak antara reward dan kinerja menjadi semakin terbaca dengan mudah. Kalau sudah peningkatan kinerja yang menjadi sasaran, berarti citra dapat dan pahala pun dapat.

Sumber : AN.Ubaidillah..(Reward Management)

Saturday, May 26, 2012

Darimana HCM dimulai ???

HCM (Human Capital Management) adalah proses untuk menjadikan people sebagai kapital penting organisasi dengan tingkat yang lebih optimal dan lebih tajam jika dibanding dengan HRD (Human Resource Development) yang lebih dulu kita kenal.

Kalau menyimpulkan wacana yang berkembang, cakupan HRD itu dinilai terlalu luas, dalam arti harus mengurusi kualitas dan kuantitas SDM dalam organisasi. Saking luasnya sehingga terkadang kiprahnya menyempit karena keterbatasan.
 Misalnya, HRD hanya berperan di urusan SP, Gaji, atau Surat Lamaran. Selain itu,  HRD juga sudah ditempatkan sebagai posisi atau divisi, dalam arti sebagai jabatan, misalnya ada HRD manajer atau direktur.

Nah, kalau HCM, konsentrasinya adalah meningkatkan kualitas SDM melalui pengembangan talent dan kompetensi untuk ditajamkan hubungannya dengan pencapaian organisasi.
HCM mestinya bukan dijadikan sebagai jabatan atau posisi, tetapi idealnya adalah kesadaran  strategis untuk semua orang yang menduduki level atasan, dari mulai staff senior sampai leader
Artinya, mau organisasi kita itu hanya 5 orang atau 50 orang, kesadaran untuk menerapkan strategi HCM ini tetap perlu dimunculkan, walaupun mungkin kita merasa belum perlu ada HRD-HRD-an.
Kenapa? Alasannya sangat simpel. Secara alamiyahnya, orang itu hanya akan menjadi kapital kalau dia mengembangkan dirinya (meng-kapitalisaikan dirinya) atau disentuh oleh proses yang mengarahkan dia untuk menjadi kapital (internal dan eksternal).
Kapital sendiri di sini pengertiannya adalah the storage of useful assets.  Sangat sulit kita mengharapkan orang agar menjadi kapital jika inisiatifnya untuk mengembangkan diri lemah atau tidak disentuh oleh proses yang membuat mereka berkembang.

Sering ada pertanyaan begini, mana yang lebih dominan peranannya antara inisiatif seseorang untuk mengembangkan dirinya atau proses yang diinisiatifkan oleh organisasi? Soal peranan dominan itu, ini tidak bisa kita samaratakan.

Ketika seseorang menjadi bagian dari organisasi atau sedang menjadi makhluk sosial, maka proses yang diinisiatifkan organisasi (faktor eksternal) menjadi lebih dominan. Baru ketika seseorang menjadi makhluk individual atau sedang merealisasikan tujuan pribadinya, maka peranan organisasi tidak lebih dominan dibanding peranan dirinya.

Fakta ini juga menambah alasan kenapa HCM itu menjadi perlu. Boleh-boleh saja kita lebih mengandalkan individu untuk mengembangkan dirinya sendiri-sendiri, tetapi konsekuensi yang tak boleh kita ingkari adalah mereka nanti kurang bekerja untuk tujuan organisasi, tetapi untuk tujuan pribadinya.

Lalu, darimana HCM sebaikanya dimulai?

Dimulai Dari Pandangan
Ketika hendak menerima seseorang sebagai pegawai, pandangan kita menjadi titik awal yang sangat menentukan. Pandangan akan menetukan bentuk perlakuan. Maksud pandangan di sini bukan pandangan mata, tentunya, tetapi pandangan dalam arti bagaimana kita mendefinisikan calon.

Ketika kita mendefinisikan mereka sebagai pencari kerja yang patut dikasihani, kita berposisi tangan di atas dan mereka sebagai tangan di bawah, atau berbagai pandangan yang me-looking-down-kan mereka, akan sangat mungkin kita sulit memperlakukan mereka sebagai kapital penting untuk dikembangkan.

Tapi, coba kalau kita mendefinisikan mereka dari awal sebagai calon pemain sepak bola yang sudah punya talenta atau potensi untuk digali demi kehebatan klub kita? Pasti spirit batin kita akan beda. Spirit inilah yang membedakan. Spirit melahirkan sikap, sikap melahirkan tindakan, dan tindakan melahirkan hasil.

Untuk mengecek asumsi di atas, coba kita datangi sekolah yang melahirkan banyak pemimpin atau melahirkan perusahaan yang melahirkan banyak expert. Hampir bisa dipastikan kita akan menemukan  spirit, suasana, dan perlakuannya (human touch-nya) yang memang berbeda. Mereka memandang people sebagai aset dari awal.

Memang, pandangan kita itu seringkali tak lepas dari  fakta yang kita lihat. Kalau kita kedatangan orang yang kualifikasinya tidak ada yang nyambung sama sekali, agak sulit kita membangun pandangan yang mengasetkan mereka.

Untuk menghindari pandangan looking down yang berlebihan, kita bisa lari ke pijakan spiritual. Misalnya kita membangung kesimpulan bahwa mungkin Tuhan punya rencana khusus kenapa orang ini dikirim ke kita. Mungkin kebaikannya dan kekuatannya masih tersembunyi. Dan lain-lain.

Intinya, kita perlu membangun berbagai perspektif yang memposisitifkan spirit, sikap, dan perlakuan sehingga bisa mengarahkan mereka menjadi kapital. Jika pijakan spiritual itu kita khawatirkan berlebihan, yang berarti akan kurang baik, kita perlu melakukan assessment oleh lembaga profesional, mau yang berbasis psikologi atau manajemen.  

Assessment akan memberi peta yang lebih akurat secara saintifik mengenai apa kelebihan, kekurangan, kemungkinan yang bisa dikembangkan, dan lain-lain sehingga pandangan kita lebih terbimbing. Hanya memang yang perlu kita ingat adalah kita perlu menjadikan hasil assessment itu sebagai alat eksplorasi yang membuka berbagai kemungkinan, bukan alat jajmentasi (judgement), penghakiman yang membatasi.

 Diteruskan Dengan Pengelolaan

Dalam banyak hal, orang itu menjadi kapital atau tidak dalam organisasi, lebih sering karena dinamika atau gesekan yang terjadi di dalamnya. Ada yang garbage-in lalu menjadi golden-out. Tapi juga malah ada yang sebaliknya. Ini tergantung gesekan itu.
Artinya, tidak berarti kalau kita sudah mendapatkan orang yang qualified lantas pasti menjadi kapital. Ini belum tentu. Jika pengelolaannya salah, lemah, atau buruk, bisa-bisa akan berbalik atau berubah.
Ini berlaku juga pada orang-orang yang kini kita miliki, maksudnya yang sudah bekerja lama di kita. Walau kita anggap mereka sebagai aset, tapi bisa saja menjadi ancaman jika pengelolaannya keliru, misalnya kita tempatkan di lokasi yang keliru atau kita perlakukan secara salah.
Karena itu, pengelolaan menjadi langkah penting dalam operasi HCM. Sokoguru pengelolaan secara garis besarnya bisa dikelompokkan menjadi tiga, seperti pada gambar di bawah, yaitu:

Pengembangan (people development) menjadi vital. Jika orang-orang tidak menerima pengembangan, kemungkinannya adalah ketinggalan dengan tuntutan atau menjadi beban seiring dengan pelapukan yang terjadi. Jika orang itu mengembangkan dirinya sendiri, hasilnya boleh jadi tidak sinkron dengan tujuan organisasi.

Nah, pengembangan orang-orang itu sebetulnya tetap bisa kita lakukan. Soal bentuk, cara, dan sistemnya, ini bisa kita rancang suka-suka kita. Maksud saya, bisa kita sesuaikan dengan kebutuhan, kemampuan, dan keadaan. Boleh dilakukan oleh orang dalam atau boleh juga dilakukan orang luar, seperti mengundang konsultan.

Supaya people menjadi capital, tentu tidak cukup dengan hanya dikembangkan. Harus ada proses yang disebut pengerahan (people deployment). Tentu, yang perlu dikerahkan adalah kapasitas atau kapital di dalam dirinya melalui tugas, target, atau tanggung jawab yang menantang.
Dalam prakteknya, pengembangan dan pengerahan saja masih belum cukup. Yang tidak kalah pentingnya adalah penjagaan (people retainment).  Tanpa penjagaan yang baik, akan ada kemungkinan untuk hengkang atau dibajak.

Soal tehnik penjagaan itu, ini bisa kita susun secara ilmiyah dan bisa alamiyah, tergantung keadaan, kebutuhan, dan kemampuan. Misalnya, kita memberi imbalan berdasarkan kalkulasi yang klir (ilmiyah) atau memberikan perlakuan yang sangat kind dan human. Atau, menggabungkan keduanya.

Menggabungkan tehnik penjagaan itu menjadi penting karena dalam banyak kasus imbalan material itu bukan satu-satunya penahan atau penjaga yang bisa diandalkan. Untuk kelompok orang dengan kualifikasi tertentu, kesempatan untuk berkembang malah sering dipahami sebagai cara menjaga yang baik.

Dilanjukan Lagi  Dengan Koordinasi
Proses HCM tidak berhenti pada pandangan dan pengelolaan. Menajamkan hubungan melalui langkah-langkah koordinatif juga vital jika kaitannya adalah bagaimana supaya seluruh orang di dalam organisasi itu menjadi kapital bagi organisasi, bukan bagi individu.
Bentuk riil koordinasi yang paling dibutuhkan adalah bagaimana menghubungkan seluruh proses yang kita lakukan itu menjadi core competency organisasi, dari mulai penerimaan sampai pengeloaan, yang sifatnya sangat dinamis.
Atau kalau  meminjam istilah yang dipakai oleh  pakar dari SAP dan Accenture (White Paper: Human Capital Management: Managing and Maximizing People to Achieve High Performance: 2005), koordinasi di sini pengertiannya adalah bagaimana seluruh proses itu berakibat pada business result yang bagus.
Praktek organisasi sering membuktikan bahwa tidak semua people process yang bagus itu langsung dan otomatik akan melahirkan business result yang bagus.  Supaya ini tidak terjadi pada kita, maka koordinasi yang sifatnya dinamis sangat dibutuhkan.
Bahkan ada juga riset industri yang berhasil mengungkap bahwa tidak semua orang  dengan kepuasan kerja yang bagus itu secara otomatik dan kausatif akan memiliki kinerja yang bagus. Kepuasan kerja dan kinerja tidak menciptakan hubungan kausatif yang otomatik sehingga perlu koordinasi.

Dengan melihat orang sebagai aset, lalu kita kembangkan dengan baik, kemudian kita perlakukan dengan baik, belum tentu membuat orang-orang kita menghasilkan business result yang baik atau core competency yang baik bagi organisasi. So, tetap butuh koordinasi yang baik.

Hambatan Vital
Walaupun HCM ini memuat gagasan mulia dan dimuliakan oleh semua organsasi, tetapi untuk me-landing-kannya ke bumi, tidaklah mudah. Bahkan dalam prakteknya, modal material itu jauh lebih kita utamakan ketimbang modal SDM. Pendorongnya bisa jadi berakar pada hal-hal yang sangat sederhana.
Kalau misalnya kita punya modal material senilai 1M, modal itu sudah langsung bisa kita gunakan dan sesuka-suka kita. Modal materi tidak punya hak untuk protes ke kita. Bahkan kalau kita simpan di Bank sekali pun, modal itu bertambah sendiri tanpa pakai mikir.
Tapi untuk modal SDM, modalnya sendiri masih berupa potensi, alias bahan baku. Namanya bahan baku, dia belum bisa langsung digunakan. Sudah begitu, potensi itu bisa berubah menjadi modal, menjadi beban, atau menjadi ancaman. Ini yang membuat faktor SDM menjadi yang pertama kali perlu disingkirkan ketika perusahaan menghadapi goncangan.
Selain harus menghadapi kenyataan yang seperti di atas, hambatan untuk membumikan gagasan HCM juga datang dari tidak seimbangnya jumlah orang yang berkomitmen untuk merealisasikannya.
Kalau memakai angka yang diformulasikan Zohar dan Marshall (Spiritual Capital: 2005), jumlah orang yang berkomitmen untuk merealisasikan HCM dalam organisasi idealnya adalah: perlu ada 2-5 %  jumlah pimpinan / pendiri yang menjadi kesatria, perlu ada 10% jumlah orang yang menjadi  master (profesional, manajer, dst), dan perlu didukung oleh 80% pengikut (pegawai atau staff).
Angka di atas bukanlah angka mutlak, tetapi lebih pada angka yang memberikan message tertentu dimana realiasasi HCM itu tidak mungkin hanya dilakukan oleh sebagian kecil pimpinan, sedikit pelaksana, dan sedikit pengikut.  Idealnya harus menjadi kesadaran bersama dan didukung oleh sebagian besar anggota organisasi.













(1)
Pengembangan

(2)

Pengerahan

(3)
Penjagaan
 







Thursday, May 24, 2012

MEMBUDAYAKAN COACHING DI TEMPAT KERJA


Mengapa coaching itu penting?

Dari berbagai studi terungkap bahwa sebenarnya karyawan itu menyukai kegiatan semacam training, seminar, workshop, dan semisalnya. Apalagi jika misalnya kegiatan semacam itu diadakan di luar kantor, katakanlah seperti di puncak, di hotel, di luar kota atau di luar negeri. Alasannya tentu bermacam-macam. Mungkin ada yang karena ingin menambah pengetahuan, meningkatkan keahlian, mendapatkan sertifikasi keahlian, memperluas jaringan, ingin mendapat kawan baru, ingin berlibur, atau hanya karena ingin menikmati budget pengembangan SDM yang sudah disediakan organisasi.

Selain itu, secara manusiawi pun sebenarnya perusahaan atau pimpinan akan lebih bangga, lebih bahagia dan lebih senang kalau sanggup mengirim anak buahnya ke tempat pelatihan, seminar atau workshop. Mengapa? Normalnya, manusia itu akan lebih bahagia kalau bisa memberi apa yang dibutuhkan orang lain. Apalagi orang lain yang diberi itu adalah orang yang selama ini membantu atau bekerja dengannya.

Cuma, dalam prakteknya hanya sedikit perusahaan atau organisasi yang sanggup mengirim anak buahnya ke tempat pelatihan, seminar atau workshop. Mengapa? Tentu ini sebabnya beragam. Mungkin ada yang disebabkan dananya tipis. Training, seminar atau workshop sekarang ini biayanya gila-gilaan. Apalagi jika diadakan di tenmpat-tempat yang elit. Meski semua mengakui ini penting tetapi prakteknya hanya perusahaan atau organisasi tertentu saja yang mau dan mampu.

Selain karena dana, waktu pun juga menjadi masalah. Untuk sebagian organisasi atau perusahaan, bisa dibilang tidak ada waktu untuk mengirim anak buah ke tempat pelatihan yang memakan waktu lebih dari satu hari. Ini karena pekerjaan di kantor sendiri numpuk sampai ada yang lembur segala. Mengirim anak buah ke tempat semacam itu bisa dianggap pemborosan. Tak hanya soal dana dan waktu, efektivitas training, seminar dan warkshop, pun menjadi perhitungan sendiri.

Kalau mencermati berbagai hasil penelitian, ternyata tidak secara otomatis kegiatan training, seminar atau workshop itu bisa efektif bagi organisasi atau perusahaan. Secara hasil, penelitian membaginya menjadi tiga kategori, yaitu: a) positive transfer, b) negative transfer, dan c) poor transfer. 

Kita pasti sepakat bahwa meningkatkan skill karyawan (dalam pengertian yang luas) itu penting. Soal caranya bagaimana, ini memang butuh penyesuaian berdasarkan keadaan kita masing-masing. Untuk sebagian kita yang kebetulan belum bisa meningkatkan karyawan dengan mengirim mereka ke pelatihan, seminar atau workshop, cara lain yang perlu kita lakukan adalah membudayakan coaching

Coaching adalah pembinaan. Secara teoritis, coaching adalah proses pengarahan yang dilakukan atasan / senior untuk melatih dan memberikan orientasi kepada bawahanya tentang realitas di tempat kerja dan membantu mengatasi hambatan dalam mencapai prestasi kerja yang optimal. Kegiatan ini akan sangat tepat diberikan kepada orang baru, orang yang menghadapi pekerjaan baru, orang yang sedang menghadapi masalah prestasi kerja atau orang yang menginginkan pembinaan kerja. Tujuannya adalah untuk memperkuat dan menambah kinerja yang telah berhasil atau memperbaiki kinerja yang bermasalah

Kalau diuraikan dalam kata-kata, manfaat coaching ini  antara lain:

1.      Meningkatkan TC ke DC

Istilah ini saya pinjam dari literatur kompetensi. Di sana dikatakan bahwa TC (threshold competency) adalah kompetensi dasar yang dimiliki seseorang dalam melaksanakan pekerjaannya tetapi kompetensi ini belum bisa dibilang sebagai keunggulan. Jika seorang sekretaris baru bisa menyalin surat ke komputer, jika seorang operator hanya bisa mengangkat telepon, jika seorang sales baru bisa mengetahui produk dan menelpon orang atau mengirim fak penjualan, ini semua adalah TC. Memang itu tugas dasarnya.

Sedangkan DC adalah Differentiating Competencies (DC). DC adalah karakteristik yang dimiliki oleh orang-orang yang berkinerja tinggi (high performer) dan yang tidak dimiliki oleh orang-orang yang berkinerja rendah (low) atau kurang (poor). Kita bisa ambil contoh misalnya seorang sales yang sudah menguasai keahlian-keahlian yang dibutuhkan untuk memelihara pelanggan yang menghasilkan hubungan kausalitas dengan penjualan. Sales seperti ini bisa dikatakan orang yang berkinerja tinggi dengan kompetensi yang dimiliki.

Persoalan yang kita hadapi adalah, bagaimana meningkatkan TC seseorang menjadi DC? Disinilah coaching berperan. Kalau kita hanya menyerahkan (memasrahkan) urusan ini kepada masing-masing individu, bisa-bisa saja. Cuma saja di sini kerap menimbulkan masalah, sebab tidak semua individu sadar, tidak semua individu tahu, dan tidak semua individu menempuh cara yang efektif dan efisien untuk meningkatkan keahliannya dari TC ke DC. Konon,  98 % dari usaha untuk membangun kompetensi terjadi melalui pekerjaan yang dilakukan

2.      Jalan menemukan 3R
Meski semboyannya SDM itu aset, tetapi prakteknya tidak seluruhnya begitu. Banyak SDM yang belum menjadi aset. Kata orang-orang SDM: “Hanya SDM yang bagus yang menjadi aset usaha”. Bagus ini apa penjelasannya? Penjelasan yang umum bisa kita singkat dengan 3 R: right people, right job and right performance.
Persoalan yang kita hadapi adalah bagaimana menemukan 3R ini? Tentu kita sadar bahwa 3R ini bukan sebuah hasil yang final (one-off). Amat sangat jarang kita bisa langsung menemukan orang yang tepat untuk ditempatkan di pekerjaan yang tepat agar bisa mencapai performansi yang tepat (tinggi).  Yang sering terjadi, 3R ini ini dicapai melalui proses. Jangan kan karwayan, presiden atau menteri atau pejabat negara yang sudah diseleksi sedemikian rupa pun tidak bisa langsung mencapai 3R ini. Bahkan waktu seratus hari pun dikatakan belum valid untuk menilai kinerja presiden dan menterinya.

Karena itu, coaching bisa menjadi salah satu jalan untuk menemukan 3R. Kalau pun 3R ini belum bisa diwujudkan ke tingkat yang ideal, tapi setidak-tidaknya coaching yang kita lakukan akan memperluas wilayah “interkoneksi” antara ‘workforce requirement’ dan ‘workfoce capabilities’. Kalau pekerjaan yang ada menuntut  orang yang punya skill berskala 7, sementara skill orang-orang yang ada hanya sampai pada skala 5, ini tentu wilayah interkoneksinya belum nyambung. Supaya nyambung, harus dinaikkan.

3.      Jalan menemukan pemimpin dari dalam
Dulu, praktek bajak-membajak tenaga ahli pernah menjadi isu besar di beberapa media massa. Sekarang pun praktek semacam ini masih kerap dilakukan meski sudah jarang dijadikan berita. Adakah sesuatu yang salah dengan praktek bajak-membajak ini? Secara konsep memang tidak. Cuma dalam prakteknya, tidak semua orang yang kita bajak itu menjadi “berkah”. Ada yang malah menjadi beban. Artinya, meski konsep ini bisa jadi benar di teorinya tetapi untuk mempraktekkannya butuh konteks yang tepat dan alasan yang spesifik.

Kalau melihat hasil studi yang dilakukan Jim Collin), rupanya praktek bajak-membajak ini kurang digemari oleh para pemimpin usaha yang sudah sanggup menggerakkan usahanya dari good ke great. Mereka rupanya punya tradisi untuk mengembangkan seorang pemimpin (senior atau tenaga ahli) dari dalam. Dipikir-pikir, ini memang rasional. Orang dalam yang kita kembangkan, akan memiliki pengetahuan tentang keadaan secara lebih mendalam ketimbang  tenaga baru yang kita bajak.

Nah, kalau melihat ke sini, coaching bisa kita jadikan instrumen atau jalan untuk melahirkan seorang pemimpin dari dalam. Dilihat dari efektivitas dan efisiensinya,  cara ini mungkin lebih menjamin ketimbang membajak tenaga baru yang masih “abu-abu”. Kalau pun orang yang kita coaching itu tidak menjadi pemimpin di tempat kita, tetapi setidak-tidaknya kerjanya sudah lebih bagus.

Hambatan Di Lapangan

Apa yang perlu di-coaching-kan? Kalau mengacu pada standar yang umum, yang perlu di-coaching-kan adalah hard skill dan soft skill (istilah lain: soft competency dan hard competency, job skill dan mental skill). Semua karyawan menginginkan skillnya naik, tapi cara yang mereka inginkan ternyata (yang paling digemari) adalah face-to-face coaching di tempat kerja. 88 % jawaban responden yang diteliti meyakini bahwa memiliki seorang mentor atau coacher di tempat kerja merupakan hal yang penting untuk kemajuan karirnya (CCL, Emerging Leader Research Survey Summary Report, 2003)

Beberapa hal yang kerap menghambat terlaksananya kegiatan yang mulia ini, misalnya:

Pertama, budaya menghakimi / memarahi. Kita langsung memarahi karyawan saat melakukan kesalahan. Marah terkadang tidak bisa dihindari tetapi yang kerap kita lupakan adalah apa yang kita lakukan setelah marah. Kalau yang kita lakukan membenci atau menjauhi, tentu akan berbeda efeknya dengan ketika yang kita lakukan setelah itu adalah mendekati dan meng-coach-nya.

Kedua, budaya membiarkan. Kita membiarkan karyawan bekerja sendiri-sendiri karena kita malas atau tidak peduli dengan skill mereka. Membiarkan seperti ini tentu berbeda dengan membiarkan yang punya pengertian memberi kesempatan untuk mandiri dalam menerapkan pengetahuan.

Ketiga, budaya mengerjakan sendiri. Kita menangani sebagian besar pekerjaan dan enggan untuk mendelegasikannya kepada yang lain karena kurang percaya
Keempat, budaya mengharapkan hasil yang instan. Kita mengharapkan hasil yang instan dari apa yang kita instruksikan pada mereka.

Kelima, budaya ”arogansi birokrasi”. Kita menjaga jarak dengan karyawan untuk melindungi gengsi atau kita enggan turun ke bawah. Umumnya kita, semakin tinggi jabatan atau posisi, justru semakin jauh dari realitas yang bersentuhan langsung dengan manusia dan masalahnya di bawah.

Kalau mengacu pada teori pendidikan, meng-coach karyawan itu sebenarnya juga termasuk mendidik. Bicara soal pendidikan ini mungkin ada satu hal yang perlu kita ingat bahwa metode yang kita gunakan dalam mendidik orang itu jauh lebih berperan penting ketimbang materi yang kita sampaikan. Materi yang bagus akan diresponi tidak bagus kalau metode yang kita gunakan tidak cocok dengan keadaan orang yang kita coach.

Beberapa hal yang penting

Untuk sebagian orang, kegiatan meng-coaching ini mungkin sudah menjadi sebuah realitas tetapi belum ada namanya.  Artinya, kegiatan ini sudah dipraktekkan tetapi tidak memakai nama coaching. Sebaliknya juga, mungkin untuk sebagian orang, kegiatan meng-coaching ini hanya sebuah nama tetapi tanpa realitas. Artinya, kita hanya tahu apa itu coaching, manfaatnya apa, tujuannya apa, tetapi tidak pernah kita praktekkan.

Terlepas itu sudah menjadi realitas atau baru sebatas nama, tetapi sebetulnya ada beberapa hal yang penting untuk diingat, yaitu:

1.      Memiliki data yang akurat

Data di sini mungkin tidak harus kita artikan sebagai data dalam pengertian yang formal dan rumit. Data di sini bisa juga kita artikan sebagai catatan pribadi yang berisikan tentang gap antara skill yang dimiliki karyawan  dengan tuntutan pekerjaan. Bisa juga berisi masalah yang dihadapi si karyawan dalam kaitannya dengan kinerjanya. Bisa pula berisi tentang perkembangan si karyawan yang kita coaching itu dari waktu ke waktu. Dengan memiliki apa yang kita sebut data itu, berarti ketika kita hendak meng-coach orang, kita sudah tahu apa yang perlu dan apa yang belum perlu, mana yang perlu ditekankan dan mana yang belum perlu, dan seterusnya.

2.      Menemukan metode yang ”teachable”

Seperti yang saya katakan di muka, bahwa dalam meng-coaching ini memang kita dituntut untuk memerankan diri sebagai pendidik. Hal yang terpenting di sini adalah menggunakan atau menemukan metode mendidik yang dapat membuat orang yang kita didik itu bisa mendidik orang lain dan begitu seterusnya. Dengan begitu, tanpa harus kita yang turun langung, program coaching tetap berjalan di tempat kita. Ini tentu sangat positif. Selain meminterkan orang lain, ini juga bisa membentuk lingkungan yang positif. 

3.      Menghidupkan, bukan mematikan

Ini soal cara bagaimana meng-coach orang. Meski kita sudah sama-sama tahu bahwa cara yang bagus adalah menghidupkan semangat orang, tetapi dalam prakteknya belum tentu pengetahuan itu kita gunakan. Ada cara yang menghidupkan tetapi ada cara yang mematikan,  ada cara yang mendorong tetapi ada  cara yang malah menarik. Cara yang kita gunakan terkadang bisa bertentangan dengan niat yang kita maksudkan. Karena itu, meski niat kita baik, namun kalau cara yang kita gunakan itu mematikan, me-looking-down-kan, atau menghinakan, bisa jadi hasilnya bukan malah bagus.  Semoga bermanfaat.(DES/10571)



Sumber : ”Coaching di tempat kerja” (AN.Ubadillah)