Wednesday, July 25, 2007

Keselamatan Radiasi Lingkungan dalam pengelolaan Limbah Radioaktif di Indonesia

Pengelolaan limbah radioaktif di Indonesia diatur oleh Undang-undang Ketenaganukliran, Undang-undang Lingkungan Hidup dan Undang-undang lainnya yang terkait serta berbagai produk hukum di bawahnya. Teknologi pengolahan limbah radioaktif yang diadopsi adalah teknologi yang telah mapan (proven) dan umum digunakan di negara-negara industri nuklir. Dalam pengelolaan limbah radioaktif sesuai ketentuan yang berlaku diterapkan program pemantauan lingkungan yang dilaksanakan secara berkesinambungan, sehingga keselamatan masyarakat dan lingkungan dari potensi dampak radiologik yang ditimbulkan selalu berada dalam batas keselamatan yang direkomendasikan secara nasional maupun internasional.
ABSTRACTTHE ENVIRONMENTAL RADIATION SAFETY OF RADIOACTIVE WASTE MANAGEMENT IN INDONESIA. The radioactive waste management in Indonesia is regulated by the Nuclear Energy Act, Environment Protection Act, and other acts pertaining to the safety and all regulations derived from the above-mentioned acts. The radioactive waste processing technology is already proven and widely used in nuclear industrial countries. In performing radioactive waste management, the regulations dictate the necessity of performing a continous environmental monitoring program, so that the safety of the public and the environement from the radiological impact is under control and assured in compliance with the national and international recommendations.
PENDAHULUAN
Ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) terus dikembangkan dan dimanfaatkan dalam upaya memenuhi kebutuhan dasar manusia, memperpanjang harapan hidup dan menstimulasi peningkatan kualitas hidup. Dalam pemanfatan iptek untuk berbagai tujuan selalu ditimbulkan sisa proses/limbah, karena efisiensi tidak pernah mencapai 100%. Demikian juga dalam pemanfaatan, pengembangan dan penguasaan iptek nuklir selalu akan ditimbulkan limbah radioaktif sebagai sisa proses. Limbah radioaktif yang ditimbulkan harus dikelola dengan baik dan tepat agar tidak mencemari lingkungan, karena pada gilirannya berpotensi mengganggu kesehatan masyarakat. Berdasarkan pengalaman di Amerika Serikat, ditunjukkan bahwa pembersihan lingkungan (clean up) akibat terjadinya pencemaran oleh limbah radioaktif membutuhkan biaya 10 sampai 100 kali lebih besar dibandingkan bila biaya pengelolaan limbah tersebut secara baik [1].Dalam makalah ini disampaikan upaya-upaya keselamatan radiasi lingkungan dalam pengelolaan limbah radioaktif di Indonesia. Uraian ini diharapkan dapat memberikan informasi seimbang kepada anggota masyarakat, baik yang pro maupun yang kontra terhadap pemanfaatan iptek nuklir.
RADIASI ALAM
Sebelum menguraikan lebih jauh tentang keselamatan radiasi lingkungan dalam pemanfaatan iptek nuklir, lebih dulu akan diinformasikan mengenai paparan radiasi yang diterima oleh manusia dari alam. Manusia di bumi tidak dapat menghindarkan diri dari penerimaan paparan radiasi alami yang berasal dari radionuklida primordial dan kosmogenik. Radionuklida alami ini terdapat dalam berbagai komponen lingkungan hidup dan mempunyai potensi memberikan paparan radiasi secara eksternal dan internal. Penerimaan dosis efektif dari radiasi alami di suatu daerah bisa berbeda dengan daerah lainnya sesuai dengan komposisi kandungan radionuklida alam yang terdapat dalam berbagai komponen lingkungan hidup. Penerimaan dosis efektif dari radiasi alami oleh penduduk bumi telah diestimasikan oleh United Nations Scientific Committee on the Effects of Atomic Radiation (UNSCEAR), yaitu antara 1,0 - 5,0 mSv per tahun, dengan rerata sebesar 2,4 mSv per tahun, 1 Sievert (Sv) = 1 Joule/ kg [2].Informasi penerimaan dosis efektif dari radiasi alami pada suatu daerah di mana akan diintroduksikan suatu kegiatan nuklir merupakan dasar untuk menetapkan besarnya nilai dosis pembatas (dose constraint) yang dapat diterima oleh penduduk setempat. Nilai dosis pembatas ini selain akan menentukan desain fasilitas nuklir yang akan dibangun, juga menentukan Baku Mutu Emisi (BME) untuk tiap jenis radionuklida yang boleh terdapat dalam efluen yang akan dibuang ke atmosfer dan ke badan-air.
NILAI BATAS DOSIS
Paparan radiasi dapat mengenai manusia melalui 2 jalur, yaitu dari sumber radiasi/radionuklida yang berada di luar tubuh (eksterna) dan dari sumber radiasi/radionuklida yang berada di dalam tubuh (interna). Interaksi sinar radiasi dengan sel-sel tubuh manusia akan menyebabkan terjadinya berbagai reaksi kimia (chemical sympton). Hasil reaksi ini dalam proteksi radiasi dikenal sebagai efek somatik/non-stokastik dan efek genetik/ stokastik.Efek somatik/non-stokastik disebut juga sebagai efek deterministik, karena efek ini pasti terjadi bila dosis yang diterima di atas dosis ambang (treshold). Dalam efek deterministik, tingkat kerusakan biologis mempunyai korelasi yang kuat dengan besarnya dosis yang diterima. Contoh efek deterministik di antaranya adalah rasa mual, kulit tubuh kemerah-merahan dan terjadinya katarak lensa mata. Efek deterministik dapat dicegah dengan membatasi penerimaan dosis di bawah dosis ambang.Efek genetik disebut juga sebagai efek stokastik. Efek stokastik munculnya lambat, terobservasi setelah beberapa dekade. Efek ini dapat terjadi bila sel-sel mengalami perubahan setelah melalui proses yang berlangsung lama, yang pada gilirannya berpotensi menjadi kanker. Contoh efek ini di antaranya adalah leukimia, cacat bawaan lahir, keterbelakangan mental dan kanker. Efek stokastik yang terjadi terhadap perorangan bervariasi dan berlangsung secara acak. Tubuh manusia pada dasarnya mempunyai mekanisme pertahanan dan kemampuan memperbaiki sel-sel yang mengalami kerusakan yang terjadi pada dosis rendah, sehingga probabilitas terjadinya efek ini dapat diperkecil dengan membatasi dosis serendah-rendah yang dapat diupayakan [3].Dengan pemahaman potensi terjadinya efek deterministik dan efek stokastik, dalam upaya perlindungan terhadap pekerja dan anggota masyarakat dari bahaya radiasi diterapkan sistem pembatasan dosis. Rekomendasi Internasional dalam publikasi Safety Series No. 115 tahun 1996, pekerja radiasi diberi toleransi menerima dosis 20 mSv per tahun untuk kurun waktu selama 5 tahun, dalam 1 tahun dosis yang diterima tidak boleh melampaui 50 mSv. Nilai batas dosis (NBD) maksimal sebesar 20 mSv per tahun untuk pekerja radiasi menjamin tidak terjadinya efek deterministik, sementara probabilitas terjadinya efek stokastik Cuma sebesar 2 x 10-4. NBD untuk anggota masyarakat adalah 1 mSv per tahun untuk kurun waktu 5 tahun. Jadi dalam 1 tahun dosis yang diterima tidak boleh melampaui 5 mSv (sama dengan besarnya dosis maksimal yang diterima dari alam). NBD sebesar 1,0 mSv per tahun untuk anggota masyarakat menjamin tidak terjadinya efek deterministik dan kemungkinan terjadinga efek stokastik sebesar 1.10-5. Berarti bila 100,000 penduduk yang ada di sekitar fasilitas nuklir masing-masing menerima dosis 1,0 mSv per tahun, kemungkinan hanya 1 orang penduduk yang mempunyai potensi menerima efek stokastik. Umumnya instalasi nuklir dibangun jauh dari pemukiman penduduk dan di mana kepadatan penduduknya rendah, sehingga probabilitas terjadinya efek stokastik ini akan lebih rendah lagi.
PENGAWASAN PEMANFAATAN IPTEK NUKLIR
Kegiatan pemanfaatan, pengembangan dan penguasaan iptek nuklir di Indonesia diawasi oleh Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten). Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No.10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran Pasal 14 ayat 2 dilaksanakan melalui peraturan, perizinan dan inspeksi. Peraturan dan perizinan yang diberikan oleh Bapeten juga memperhatikan Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, Undang Undang No.1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja dan Undang-Undang lainnya yang terkait beserta produk hukum dibawahnya [5,6,7].Upaya meminimalkan dampak terhadap lingkungan dalam pemanfaatan, penguasaan dan pengembangan iptek nuklir berbagai izin mutlak diperlukan, diantaranya adalah izin tapak/lokasi, izin pembangunan, izin operasi dan izin dekomisioning [8,9,10,11,12,13,14].Izin tapak diperoleh melalui penilaian dokumen tapak yang disampaikan oleh pemrakarsa. Dalam dokumen ini dilakukan evaluasi pengaruh berbagai faktor alam dan lingkungan hidup serta interaksinya terhadap kegiatan nuklir yang akan dintroduksi, baik terhadap faktor-faktor yang telah nyata ada ataupun yang diprakirakan akan timbul dikemudian hari. Dalam dokumen tapak dilakukan evaluasi kesesuaian beberapa calon lokasi terhadap kriteria yang diterapkan, sehingga diperoleh lokasi yang paling sesuai, yaitu lokasi yang diprakirakan akan menimbulkan dampak negatif minimum terhadap kegiatan yang akan diintroduksi.Izin pembangunan diberikan bila dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) yang disampaikan oleh pemrakarsa disetujui oleh komisi Amdal. Hal ini dilakukan untuk memenuhi Undang Undang No. 23/1997 Pasal 15. Dalam dokumen Analisis Dampak Lingkungan (Andal) dilakukan studi yang menyeluruh antara komponen-komponen lingkungan hidup terhadap berbagai jenis kegiatan pembangunan yang dimulai dari tahap pembebasan dan penyiapan lahan sampai tahap dekomisioning. Hasil studi Andal adalah informasi mengenai berbagai kegiatan yang menimbulkan dampak positif dan negatif serta komponen lingkungan hidup yang terkena dampak. Berdasarkan hasil studi Andal selanjutnya disusun rencana pengelolaan (RKL) dan pemantauan (RPL), sehingga upaya meningkatkan dampak positif dan mengurangi dampak negatif dapat dilakukan. Dalam pemanfaatan iptek nuklir yang tidak wajib Amdal diwajibkan menyusun dokumen Upaya Pengelolaan (UPL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL).Izin operasi diberikan melalui evaluasi dokumen Laporan Analisis Keselamatan (LAK). Dalam dokumen LAK dilakukan evaluasi keamanan dan keselamatan pengoperasian instalasi nuklir terhadap pekerja, masyarakat dan lingkungan, program perawatan preventif dan kuratif, serta kesiapsiagaan nuklir bila terjadi kegagalan operasi. Dalam kesiapsiagaan nuklir diinformasikan potensi dan probabilitas berbagai jenis kecelakaan yang dapat terjadi serta konsekuensinya, elemen-elemen struktural dan fungsional yang diterapkan dalam tindakan penanggulangan, serta pemulihan lingkungan (remediasi) setelah pasca kegagalan operasi.Fasilitas nuklir, industri, kedokteran nuklir atau fasilitas lainnya yang menggunakan sumber dan atau bahan radioaktif diharuskan melakukan dekomisioning pada penutupannya. Dekomisioning harus mendapat izin dari Badan Pengawas. Permohonan izin diajukan berdasarkan dokumen program dekomisioning yang diturunkan berdasarkan hasil pengkajian keselamatan. Rencana dekomisioning memuat karakteristik fasilitas, pemindahan, pembongkaran, dekontaminasi, pengelolaan limbah, pemantauan radiasi dan rencana penanggulangan kedaruratan, proteksi fisik, jaminan kualitas, survei radiasi akhir dan dokumentasi. Setelah pelaksanaan dekomisioning selesai, survei akhir radioaktivitas di lokasi fasilitas harus dilakukan dan dilaporkan sebagai penegasan bahwa dekomisioning telah diselesaikan sesuai dengan rencana yang disetujui Badan Pengawas. Setelah dekomsioning diselesaikan dengan sukses, fasilitas dan tapak dapat dibebaskan dari pengawasan ketenaganukliran dan dapat dimanfaatkan untuk keperluan lain.Berbagai peraturan lainnya yang terkait dengan keselamatan radiasi terhadap pekerja dan lingkungan termuat dalam PP. No.63 Tahun 2000 tentang Keselamatan dan Kesehatan Terhadap Pemanfaatan Radiasi Pengion dan PP. No. 64 Tahun 2000 tentang Perizinan Pemanfaatan Tenaga Nuklir dan SK. Ka. Bapeten No. 03/Ka. Bapeten/V-99 tentang ketentuan Keselamatan Pengelolaan Limbah Radioaktif.
PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF
Limbah radioaktif umumnya ditimbulkan dari kegiatan pengoperasian reaktor riset, pemanfaatan sumber radiasi dan bahan radioaktif dalam bidang industri, pertanian, kedokteran dan penelitian serta dari berbagai proses indusrti yang menggunakan bahan yang mengandung radionuklida alam (Naturally Occurring Radioactive Material, NORM). Sedangkan di negara-negara maju, limbah radioaktif juga ditimbulkan dari pengoperasian Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) dan kegiatan daur-ulang bahan bakar nuklir (BBN) bekas dan dekomisioning instalasi/ fasilitas nuklir. Pengelolaan limbah radioaktif dilaksanakan untuk mencegah timbulnya bahaya radiasi terhadap pekerja, anggota masyarakat dan lingkungan hidup. Pengelolaan limbah radioaktif adalah pengumpulan, pengelompokan, pengolahan, pengangkutan, penyimpanan sementara dan penyimpanan lestari dan pembuangan limbah (disposal) [5].Dalam U.U. No. 10/1997 pasal 23 ayat (2) disebutkan bahwa "Pengelolaan limbah radioaktif dilaksanakan oleh Badan Pelaksana. Dalam Pasal 3 ayat (1), Pemerintah membentuk Badan Pelaksana yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Badan Pelaksana dalam hal ini adalah Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan). Sesuai Keputusan Kepala Batan No.166/KA/IV/2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Batan, pengelolaan limbah radioaktif dilaksanakan oleh Pusat Pengembangan Pengelolaan Limbah Radioaktif (P2PLR). Dalam pasal 23 ayat (2), Batan dalam melaksanakan pengelolaan limbah radioaktif dapat bekerjasama dengan atau menunjuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Koperasi dan/ atau Badan Usaha lainnya. Berdasarkan pasal ini, pemerintah membuka pintu-pintu lebar-lebar bagi pihak swasta atau Badan Usaha lainnya untuk berperan serta dalam pengelolaan limbah radioaktif yang aman untuk generasi saat ini maupun untuk generasi yang akan datang.Skema pengelolaan limbah radioaktif yang ditimbulkan dalam pemanfaatan, pengembangan dan penguasaan iptek nukkir secara umum ditampilkan dalam Gambar 1.
Minimisasi Limbah
Dalam pemanfaatan iptek nuklir minimisasi limbah diterapkan mulai dari perencanaan, pemanfaatan (selama operasi) dan setelah masa operasi (pasca operasi). Pada tahap awal/perencanaan pemanfaatan iptek nuklir diterapkan azas justifikasi, yaitu "tidak dibenarkan memanfaatkan suatu iptek nuklir yang menyebabkan perorangan atau anggota masyarakat menerima paparan radiasi bila tidak menghasilkan suatu manfaat yang nyata". Dengan menerapkan azas justifikasi berarti telah memimisasi potensi paparan radiasi dan kontaminasi serta membatasi limbah/dampak lainnya yang akan ditimbulkan pada sumbernya. Setelah penerapan azas justifikasi atas suatu pemanfaatan iptek nuklir, pemanfaatan iptek nuklir tersebut harus lebih besar manfaatnya dibandingkan kerugian yang akan ditimbulkannya, dan dalam pembangunan dan pengoperasiannya harus mendapat izin lokasi, pembangunan, dan pengoperasian dari Badan Pengawas, seperti telah diuraikan sebelumnya.


Pengelompokan Limbah Radioaktif
Limbah radioaktif yang ditimbulkan dari pemanfaatan iptek nuklir umumnya dikelompokkan ke dalam limbah tingkat rendah (LTR), tingkat sedang (LTS) dan tingkat tinggi (LTT). Pengelompokan ini didasarkan kebutuhan isolasi limbah untuk jangka waktu yang panjang dalam upaya melindungi pekerja radiasi, lingkungan hidup, masyarakat dan generasi yang akan datang. Pengelompokan ini merupakan strategi awal dalam pengelolaan limbah radioaktif. Sistem pengelompokan limbah di tiap negara umumnya berbeda-beda sesuai dengan tuntutan keselamatan/peraturan yang berlaku di masing-masing negara. Pengelompokan limbah dapat dilakukan selain berdasarkan tingkat aktivitasnya, juga dapat berdasarkan waktu-paro (T1/2), panas gamma yang ditimbulkan dan kandungan radionuklida alpha yang terdapat dalam limbah.Di Indonesia, sesuai Pasal 22 ayat 2, U.U. No. 10/1997, limbah radioaktif berdasarkan aktivitasnya diklasifikasikan dalam jenis limbah radioaktif tingkat rendah (LTR), tingkat sedang (LTS) dan tingkat tinggi (LTT). Di P2PLR, berdasarkan bentuknya limbah radioaktif dikelompokkan ke dalam limbah cair (organik, anorganik), limbah padat (terkompaksi/tidak terkompaksi, terbakar/tidak terbakar) dan limbah semi cair (resin). Berdasarkan aktivitasnya dikelompokkan menjadi limbah aktivitas rendah (10-6Ci/m3 <> 104Ci/m3). Penimbul limbah radioaktif baik dari kegiatan Batan dan diluar Batan (Industri, Rumah Sakit, industri, dll.) wajib melakukan pemilahan dan pengumpulan limbah sesuai dengan jenis dan tingkat aktivitasnya. Limbah radioaktif ini selanjutnya dapat diolah di Pusat Penelitian Tenaga Nuklir (PPTN) Serpong untuk pengolahan lebih lanjut.
Teknologi Pengolahan Limbah
Tujuan utama pengolahan limbah adalah mereduksi volume dan kondisioning limbah, agar dalam penanganan selanjutnya pekerja radiasi, anggota masyarakat dan lingkungan hidup aman dari paparan radiasi dan kontaminasi. Teknologi pengolahan yang umum digunakan antara lain adalah teknologi alih-tempat (dekontaminasi, filtrasi, dll.), teknologi pemekatan (evaporasi, destilasi, dll.), teknologi transformasi (insinerasi, kalsinasi) dan teknologi kondisioning (integrasi dengan wadah, imobilisasi, adsorpsi/absorpsi). Limbah yang telah mengalami reduksi volume selanjutnya dikondisioning dalam matrik beton, aspal, gelas, keramik, sindrok, dan matrik lainnya, agar zat radioaktif yang terkandung terikat dalam matrik sehingga tidak mudah terlindi dalam kurun waktu yang relatif lama (ratusan/ribuan tahun) bila limbah tersebut disimpan secara lestari/di disposal ke lingkungan. Pengolahan limbah ini bertujuan agar setelah ratusan/ribuan tahun sistem disposal ditutup (closure), hanya sebagian kecil radionuklida waktu-paro (T1/2) panjang yang sampai ke lingkungan hidup (biosphere), sehingga dampak radiologi yang ditimbulkannya minimal dan jauh di bawah NBD yang ditolerir untuk anggota masyarakat.
Limbah radioaktif tingkat rendah dan sedang
Teknologi pengolahan dan disposal limbah tingkat rendah (LTR) dan tingkat sedang (LTS) telah mapan dan diimplementasikan secara komersial di negara-negara industri nuklir. Penelitian dan pengembangan (litbang) yang berkaitan dengan pengolahan dan disposal limbah ini sudah sangat terbatas. Negara-negara berkembang dapat mempelajari dan mengadopsi teknologi pengolahan dan disposal dari negara-negara industri nuklir. Teknologi pengolahan dan disposal yang dipilih haruslah disesuaikan dengan strategi pengelolaan yang ditetapkan. Dalam upaya meningkatkan kepercayaan masyarakat, beberapa negara-negara industri nuklir saat ini cenderung langsung mendisposal LTR dan LTS dari pada menyimpannya di tempat penyimpanan sementara (strategi wait and see). Penerapan disposal secara langsung selain akan memeperkecil dampak radiologi terhadap pekerja, juga diharapkan akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pemanfaatan iptek nuklir [15].P2PLR semenjak tahun 1989 hingga saat ini (±13 tahun) telah mengolah LTR dan LTS baik yang berasal dari kegiatan BATAN maupun dari kegiatan industri, rumah sakit dan kegiatan lainnya. Limbah cair diolah dengan unit Evaporator yang mempunyai faktor pemekatan 50 kali dan kapasitas pengolahan 750 liter/jam. Limbah padat terbakar diolah dengan unit insinerator yang mempunyai kapasitas pembakaran 50 kg/jam. Limbah padat terkompaksi/tidak terbakar diolah dengan unit kompaktor yang mempunyai kuat tekan 60 kN. Limbah hasil-olahan disimpan di tempat penyimpanan sementara (Interim Storage, IS-1) yang mempunyai kapasitas penampungan 1500 sel drum 200 liter. Jumlah limbah hasil-olahan yang disimpan di IS-1 saat ini masing-masing 507 buah dalam drum 200 liter, 45 buah dalam cel beton 950 liter dan 34 buah dalam cel beton 350 liter. Data ini menunjukkan laju pengolahan limbah per tahun relatif rendah. Namun demikian untuk mengantisipasi jumlah limbah hasil-olahan untuk masa yang akan datang, P2PLR saat ini telah membangun IS-2 dengan kapasitas yang sama.P2PLR dalam pengelolaan LTR dan LTS telah mengadopsi teknologi yang telah mapan dan umum digunakan di negara-negara industri nuklir. Limbah hasil olahan disimpan di fasilitas IS-1, sehingga limbah tersebut aman dan terkendali serta kemungkinan limbah tersebut tercecer atau tidak bertuan dapat dihindarkan.
Limbah tingkat tinggi
Kebijakan pengelolaan limbah radioaktif tingkat tinggi (LTT) dan bahan bakar nuklir (BBN) bekas di tiap negara industri nuklir selain berbeda juga masih berubah-ubah. Beberapa negara melakukan pilihan olah-ulang (daur-tertutup) untuk pemanfaatan material fisil dan fertil yang masih terkandung dan sekaligus mereduksi volumenya. Sebagian negara lain melihat LTT sebagai limbah (daur-terbuka), dan berencana untuk mendisposalnya dalam formasi geologi tanah dalam (deep repository).Dalam diposal LTT, di negara-negara industri nuklir saat ini masih terjadi perdebatan, sebagian pakar memilih opsi penyimpanan lestari/disposal dalam formasi geologi dan sebagian lainnya mempertimbangkan opsi "non-disposal" (indefinite surface storage). Opsi non-disposal adalah merupakan kecenderungan untuk menerima ide retrievebility dan reversibility. Konsekuensi dari penerimaan opsi ini berdampak kepada disain fasilitas, namun tidak mempengaruhi secara teknis [15].Saat ini, beberapa negara-negara industri nuklir juga sedang mengeksplorasi jalur lain, yaitu jalur partisi dan transmutasi dalam upaya mengurangi T1/2. Studi ini bertujuan untuk mendapatkan pengetahuan yang mendasar dalam menetapkan strategi pengelolaan LTT. Walaupun jalur partisi dan transmutasi dapat mengurangi T1/2 limbah, namun secara keseluruhan tetap tidak menutup kebutuhan disposal. Dengan meningkatnya radionuklida T1/2 pendek hasil partisi/transmutasi akan meningkatkan paparan radiasi. Hal ini berdampak pada keselamatan radiasi terhadap pekerja, sehingga memerlukan kajian tersendiri [15].BATAN dalam pengelolaan LTT saat ini memilih daur tertutup. Limbah BBN bekas dan LTT dari hasil uji fabrikasi BBN saat ini disimpan di Interim Storage for Spent Fuel Element (ISSFE) yang ada di PPTN Serpong. Kapasitas ISSFE mampu untuk menyimpan BBN bekas untuk selama umur operasi reaktor G.A. Siwabessy. LTT dan Bahan Bakar Nuklir (BBN) bekas yang dihasilkan dari pengoperasian reaktor Triga Mark II di Bandung dan reaktor Kartini di Yogyakarta disimpan di kolam pendingin reaktor. Dalam pengoperasian reaktor G.A.Siwabessy, reaktor Triga Mark II dan reaktor Kartini, BBN bekas ataupun LTT tidak ada yang keluar dari kawasan nuklir tersebut, seluruhnya tersimpan dengan aman di kawasan nuklir tersebut.
Pembuangan Limbah Radioaktif
Strategi pembuangan limbah radioaktif umumnya dibagi kedalam 2 konsep pendekatan, yaitu konsep "Encerkan dan Sebarkan" (EDS) atau "Pekatkan dan Tahan" (PDT). Kedua strategi ini umumnya diterapkan dalam pemanfaatan iptek nuklir di negara industri nuklir, sehingga tidak dapat dihindarkan menggugurkan strategi zero release [15].
Pembuangan efluen
Dalam pengoperasian instalasi nuklir tidak dapat dihindarkan terjadinya pembuangan efluen ke atmosfer dan ke badan-air. Efluen gas/partikulat yang dibuang langsung ke atmosfer berasal dari sistem ventilasi. Udara sistem ventilasi di tiap instalasi nuklir sebelum dibuang ke atmosfer melalui cerobong, dibersihkan kandungan gas/ partikulat radioaktif yang terkandung di dalamnya dengan sistem pembersih udara yang mempunyai efisiensi 99,9 %. Efluen cair yang dapat dibuang langsung ke badan-air hanya berasal sistem ventilasi dan dari unit pengolahan limbah cair radioaktif. Tiap jenis radionuklida yang terdapat dalam efluen yang di buang ke lingkungan harus mempunyai konsentrasi di bawah BME.Pembuangan efluen radioaktif secara langsung, setelah proses pengolahan/dibersihkan dan setelah peluruhan ke lingkungan merupakan penerapan strategi EDS. Dalam pembuangan secara langsung, setelah dibersihkan dan setelah peluruhan aktivitas/konsentrasi radionuklida yang terdapat dalam efluen harus berada di bawah BME. Radionuklida yang terdapat dalam efluen akan terdispersi dan selanjutnya melaui berbagai jalur perantara (pathway) yang terdapat di lingkungan akan sampai pada manusia sehingga mempunyai potensi meningkatkan penerimaan dosis terhadap anggota masyarakat. Penerimaan dosis terhadap anggota masyarakat ini harus dibatasi serendah-rendahnya (penerapan azas optimasi). Dosis maksimal yang diperkenankan dapat diterima anggota masyarakat dari pembuangan efluen ke lingkungan dari seluruh jalur perantara yang mungkin adalah 0,3 mSv per tahun [16]. Dosis pembatas (dose constrain) sebesar 0,3 mSv memberikan kemungkinan terjadinya efek somatik hanya sebesar 3,3x10-6. Berdasarkan dosis pembatas ini BME tiap jenis radionuklida yang diizinkan terdapat dalam efluen dapat dihitung dengan teknik menghitung balik pada metode prakiraan dosis. BME tiap jenis radioaktif ini harus mendapat izin dan tiap jenis radionuklida yang terlepaskan ke lingkungan harus dimonitor secara berkala dan dilaporkan ke Badan Pengawas.BME tiap jenis radioanuklida yang diperkenankan terdapat dalam efluen radioaktif yang dibuang ke lingkungan untuk tiap instalasi nuklir di PPTN Serpong telah dihitung dengan metode faktor konsentrasi (concentration factor method) dan telah diterapkan semenjak reaktor G.A. Siwabessy dioperasikan pada bulan Agusutus 1987 [17]. Pembuangan efluent gas/partikulat dan efluen cair ke lingkungan di PPTN Serpong telah sesuai dengan rekomendasi yang diberikan baik secara nasional maupun internasional.
Disposal limbah
Penyimpanan lestari/disposal limbah radioaktif hasil-olahan merupakan penerapan strategi PDT. Strategi ini mempunyai potensi meningkatkan peneriman dosis terhadap anggota masyarakat, dosis maksimal yang diakibatkannya tidak boleh melebihi dosis pembatas yang diperkenankan. Pengoperasian fasilitas disposal ini harus mendapat izin lokasi, konstruksi dan operasi dari Badan Pengawas.
Lokasi disposal
Pemilihan lokasi untuk pembangunan fasilitas disposal mengacu pada proses seleksi yang direkomendasikan oleh International Atomic Energy Agency (IAEA). Faktor-faktor teknis yang dipertimbangkan diantaranya faktor geologi, hidrogeologi, geokimia, tektonik dan kegempaan, berbagai kegiatan yang ada di sekitar calon lokasi, meteorologi, transportasi limbah, tata-guna lahan, distribusi penduduk dan perlindungan lingkungan hidup. Faktor lainnya yang sangat penting adalah penerimaan oleh masyarakat. Di negara-negara industri nuklir moto "Not In My Backyard" (NYMBY) telah merintangi dalam pemilihan lokasi, tidak hanya untuk disposal limbah radioaktif juga terhadap limbah industri lainnya. Oleh karena itu perhatian terhadap faktor-faktor sosial (societal issues) selama pase awal proses pemilihan lokasi memerlukan perhatian ekstra hati-hati dan seksama. Isu ini menyebabkan negara-negara industri nuklir cenderung memilih lokasi (site) nuklir yang telah ada untuk pembangunan fasilitas disposal. Sebagai contoh diantaranya fasilitas disposal Drig (United Kingdom), Centre de la Manche (Perancis), Rokkasho (Jepang) dan Oilkiluoto (Finlandia) [15].P2PLR telah melakukan berbagai penelitian dan pengkajian kemungkinan kawasan nuklir PPTN Serpong dan calon lokasi PLTN di S. Lemahabang dapat digunakan sebagai lokasi untuk disposal LTR, LTS dan LTT. Hasil pengkajian dan penelitian ini sementara menyimpulkan bahwa kawasan PPTN Serpong dikarenakan kondisi lingkungan setempat (pola aliran air tanah, demographi, dll) hanya memungkinkan untuk pembangunan sistem disposal eksperimental, sedangkan di calon lokasi PLTN telah dapat diidentifikasi daerah yang mempunyai kesesuaian yang tinggi untuk pembangungan sistem disposal near-surface dan deep disposal. [18, 19].
Rancang-bangun
Fasilitas disposal dibangun tergantung pada kondisi geologi, persyaratan-persyaratan khusus dan pemenuhan regulasi. Fasilitas disposal yang dibangun haruslah efektif menahan radionuklida untuk tidak migrasi ke lingkungan hidup selama periode potensi bahaya (hazard) maksimal, sehingga paparan radiasi terhadap pekerja dan anggota masyarakat selama operasi dan pasca-operasi minimal. Tujuan ini dapat dicapai melalui rancang-bangun komponen-komponen teknis seperti paket limbah, struktur teknis fasilitas, lokasi itu sendiri dan kombinasi dari berbagai faktor-faktor teknis tersebut.Rancang-bangun fasilitas disposal berkaitan erat dengan kemajuan teknologi dan perhatian masyarakat terhadap keselamatan radiasi dan lingkungan serta perlindungan generasi yang akan datang. Rancang-bangun yang banyak diminati adalah sistem disposal dengan penahan berlapis (multiple engineered barriers). Sistem ini terdiri dari bungker beton (concrete vault), bahan pengisi (backfill material), penahan berdasarkan proses kimia (chemical barrier), sistem ventilasi (mesure for gas venting) sistem drainase (drainage) dan daerah penyangga (buffer zone).Saat ini beberapa jenis fasilitas disposal telah dibangun dan beroperasi di negara-negara industri nuklir, 62 % dibangun dekat permukaan tanah (engineered near-surface), 18 % di permukaan tanah, 7 % dalam gua bekas tambang dan sisanya dalam formasi geologi (deep disposal) [15].
Pengkajian keselamatan
Pengkajian keselamatan pembuangan/disposal limbah radioaktif bertujuan mengevaluasi unjuk-kerja dari sistem disposal baik untuk kondisi saat ini maupun untuk kondisi yang akan datang, diantisipasi juga mengenai kejadian-kejadian yang sangat jarang terjadi. Berbagai faktor, seperti model dan parameter, periode waktu yang lama, perilaku manusia dan perubahan iklim harus dievaluasi secara konsisten, walaupun data kuantitatif yang diperlukan tidak/ belum tersedia. Hal ini dapat diperoleh melalui formulasi dan analisis dari berbagai skenario yang mungkin terjadi. Skenario adalah deskripsi berbagai alternatif yang mungkin terjadi secara konsisten mengenai evolusi dan kondisi dimasa yang akan datang. Proses pengkajian keselamatan umumnya dilakukan melalui beberapa tahapan proses, seperti kontek perlunya pengkajian dilakukan (memilih lokasi, perizinan, kriteria yang digunakan, dan waktu pengoperasian), rincian rancang-bangun, pengembangan dan menenetapkan skenario, memformulasikan dan penerapkan model. Melakukan analisis dan menginterpretasikan hasil dengan membandingkan terhadap kriteria yang direkomendasikan [15].Kemampuan untuk melakukan pengkajian keselamatan ini perlu dukungan infrastruktur (organisasi, peralatan, dll.) dan sumberdaya manusia yang handal serta disiapkan secara berkesinambungan. Di P2PLR saat ini terdapat Bidang Kelompok Penyimpanan Lestari dan Bidang Keselamatan dan Lingkungan, telah membuat group-group untuk pengkajian skenario, mendapatkan besaran-besaran fisika-kima untuk pengkajian dan pengembangan perangkat lunak untuk pengkajian unjuk kerja fasilitas disposal (performance assessment), diharapkan dalam jangka panjang dapat dibangun capacity building dan confidence building dalam keselamatan disposal limbah radioaktif.
Penerimaan Masyarakat
Penerimaan masyarakat terhadap pemanfaatan iptek-nuklir sangat dipengruhi oleh keamanan dan keselamatan pengelolaan limbah radioaktif, dimana didalamnya termasuk masalah bersifat teknis dan sosial. Di negara-negara industri nuklir upaya-upaya yang dilakukan dalam meningkatkan kepercayaan masyarakat, yaitu meningkatkan dialog/komunikasi dengan komunitas lokal di mana fasilitas/kegiatan nuklir akan diintroduksi dan dengan masyarakat luas yang secara nyata menunjukan komitmen terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi yang unggul (excellent). Di beberapa negara menawarkan insentif finasial ke komunitas yang menerima di mana di daerahnya akan diintroduksi fasilitas/kegiatan nuklir. Kompensasi ditetapkan tidak sebagai hadiah, namun berdasarkan diskusi terhadap isu-isu masalah keselamatan. Sebagai contoh dari finansial insentif dapat berupa kesempatan kerja untuk komunitas lokal yang lebih besar atau pembebasan biaya listrik bila dilokasi tersebut dibangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN).Isu-isu sosial (societal issues) yang perlu diperhatikan dalam meningkatkan kepercayaan masyarakat diantaranya adalah jaminan independensi dari Badan Pengawas dan keputusan yang diambil oleh Badan Pengawas terhadap perizinan dalam pemanfaatan iptek nuklir haruslah berdasarkan suatu pengkajian dan pertimbangan yang tepat. Dalam masalah disposal, diantaranya demonstrasikan bahwa masalah keselamatan telah memperhatikan generasi yang akan datang, pengambilan keputusan dilakukan secara bertahap dan transparan serta lakukan komunikasi yang efektif dengan penduduk lokal dalam membangun kepercayaan.
PEMANTAUAN LINGKUNGAN
Pemantauan radioaktivitas lingkungan di sekitar instalasi dimana kegiatan/pemanfaatan iptek nuklir berlangsung, merupakan suatu ketentuan yang diberlakukan. Tujuan utama dari pemantauan lingkungan ini adalah untuk [20];
Verifikasi kelayakan pengawasan pembuangan efluen ke lingkungan Melakukan koreksi terhadap kesahihan perhitungan batas konsentrasi tiap jenis radionuklida yang diperkenankan terdapat dalam efluen. Memberikan jaminan/pembuktian kepada Badan Pengawas dan masyarakat bahwa dampak radiologi yang ditimbulkan dalam batasan yang diizinkan/diperkenankan. Sebagai sarana ilmiah dalam mempelajari pola penyebaran, faktor perpindahan/pemekatan dan migrasi radionuklida di berbagai komponen lingkungan hidup. Program pemantauan yang diturunkan dari hasil studi Amdal, berdasarkan dokumen RPL, komponen-komponen lingkungan dan jenis dampak/radionuklida yang harus dipantau serta frekuensi pemantauan dapat ditetapkan. Selanjutnya dari hasil pemantauan dapat dilakukan prakiraan penerimaan dosis oleh anggota masyarakat dari berbagai jalur perantara (pathway) yang mungkin. Prakiraan dosis dilakukan dengan metode faktor pemekatan. Hasil prakiran dosis yang diperoleh dibandingkan dengan Nilai Batas Dosis (NBD) yang diperkenankan untuk anggota masyarakat dan dilaporkan ke Badan Pengawas.Program pemantauan lingkungan di PPTN Serpong telah dilaksanakan semenjak reaktor G.A.Siwabessy dioperasikan tahun 1987 hingga sekarang. Hasil pemantauan yang diperoleh berdasarkan evaluasi secara statistika, metode pembobotan dan pembandingan terhadap baku mutu radioaktivitas di lingkungan, menunjukkan bahwa [21, 22]: Laju dosis dan dosis kumulatif di udara di PPTN Serpong, daerah Puspiptek dan Lepas Kawasan tidak menunjukan adanya perubahan ataupun kecenderungan peningkatan. Tidak teramati adanya radionuklida hasil fisi ataupun aktivasi dalam komponen lingkungan di PPTN Serpong, daerah Puspiptek dan Lepas Kawasan, yang teramati umumnya adalah radionuklida alam dan radionuklida jatuhan dari percobaan bom nuklir di atmosfer (Global Fall-Out) yang konsentrasinya sangat rendah. Berdasarkan butir 1 dan 2 menyatakan bahwa tidak terjadi peningkatan penerimaan dosis oleh anggota masyarakat yang berada di sekitar PPTN Serpong. Berdasarkan pengalaman pemantauan radioaktivitas dan pengkajian keselamatan lingkungan di PPTN Serpong semenjak tahun 1987, saat ini Batan mempunyai sumberdaya manusia dalam kelompok keahlian Keselamatan Radiasi dan Keselamatan Lingkungan yang mampu selain untuk melakukan Amdal kegiatan nuklir, juga melakukan rancang-bangun sistem pemantauan keselamatan radiasi lingkungan untuk operasi normal ataupun untuk kondisi kedaruratan nuklir.
KESIMPULAN
Keselamatan radiasi lingkungan dalam pengelolaan limbah radioaktif diupayakan melalui; Pembatasan penerimaan dosis, Nilai Batas Dosis (NBD) yang ditolerir dapat diterima oleh anggota masyarakat sebesar 1,0 mSv per tahun. NBD untuk anggota masyrakat ini relatif lebih kecil dari yang diterima rata-rata dari radiasi alam (2,4 mSv per tahun). Penerimaan dosis oleh anggota masyarakat dari kegiatan pembuangan efluen radioaktif ke atmosfer dan ke badan-air, serta dari disposal limbah dibatasai maksimal sebesar 0,3 mSv per tahun. Besarnya dosis pembatas ini, mempunyai potensi kemungkinan terjadinya efek somatik sebesar 3,3 x 10-6, sesuai dengan standar de minimus, nilai risiko ini termasuk dapat diabaikan. Pemantauan lingkungan merupakan ketentuan yang diberlakukan, sehingga bila terjadi kecenderungan peningkatan penerimaan dosis oleh penduduk di sekitar fasilitas nuklir dapat secara dini diketahui, sehingga kegiatan nuklir dapat dihentikan segera, dengan demikian kerugian terhadap masyarakat dan lingkungan dapat diminimalisis serendah-rendahnya. Pengelolaan limbah radioaktif tingkat rendah (LTR) dan sedang (LTS) telah mapan (proven) baik secara teknologi maupun keselamatan, dan telah diimplemetasikan secara komersial. Teknologi pengolahan limbah radioaktif ini telah diadopsi dan diimplementasikan di Indonesia (Batan) dalam mengelola LTR dan LTS baik yang dihasilkan dari kegiatan Batan maupun dari kegiatan Non-Batan (industri, rumah sakit, penelitaian dan lain-lainhya). Pengelolaan limbah radioaktif tingkat tinggi (LTT) di negara-negara industri nuklir selain berbeda, juga masih berubah-ubah. Sebagian memilih daur tertutup (memilih opsi olah-ulang) dan sebagian lainnya memilih daur terbuka (memilih opsi disposal). Indonesia memilih daur terbuka, limbah BBN bekas yang awalnya dipasok dari luar Negeri, direeksport kembali ke negara asal. Sementara LTT yang ditimbulkan dari Litbang disimpan di ISSFE yang berada dalam kawasan nuklir, sehingga aman dan terkendali. Kecenderungan pembangunan fasilitas disposal yang terjadi di negara-negara industri nuklir dalam mengantisipasi moto ” NYMBY” adalah di kawasan nuklir yang telah ada. Penerimaan masyarakat terhadap pemanfaatan iptek nuklir sangat dipengaruhi oleh keamanan dan keselamatan pengelolaan limbah radioaktif. Dalam permasalahan ini, umumnya negara-negara industri nuklir melakukan pendekatan secara teknis, namun pendekatan secara sosial masih kurang.

Tuesday, July 17, 2007

The Malcolm Baldrige National Quality Award (MBNQA)

A Public Private Partnership
Building active partnerships in the private sector and among the private sector and all levels of government is fundamental to the success of the Baldrige National Quality Program in improving national competitiveness. Private sector support for the program in the form of fund, volunteer efforts, and participation in information transfer continuous to grow.

To ensure the continued growth and success of these partnerships, each of the following organizations plays an important role

Foundation for the MBNQA (Malcolm Baldrige National Quality Award)
The foundation for the MBNQA was create to foster the success of the program. The Foundation's main objective is to raise funds to permanently endow the Award Program.

Prominent leaders from U.S organizations serve as foundation Trustees to ensure that the Foundation's objectives are accomplished. A broad cross section of organizations throughtout the United States provides financial support to Foundation.

National Institute of Standars and Technology
The National Institute of Standars and Technologi (NIST), an agency of the U.S. Department of Commerce, manages the Baldrige National Quality Program. NIST promotes U.S innovation and industrial competitiveness by advancing measurement science, standars, and technology in ways that enchance economic security and improve our quality of life. Through a network of technology extension centers and field offices serving all 50 states and Puerto Rico, NIST help small and medium sized businesses access the information and expertise they need to improve their competitiveness in the global marketplace.

American Society for Quality
The American Society for Quality (ASQ) assists in administering the Award Program under contract to NIST. ASQ is dedicated to the on going development, advancement, and promotion of quality concepts, principles, and techniques. ASQ strives to be the worlds recognized champion and leading authority on all issues related to quality. ASQ recognizes that continuous quality improvement will help the favorable positioning of American goods and services in the international marketplace.

Board of Overseers
The board of Overseers advises the Department of Commerce on the Baldrige National Quality Program. The board is appointed by the Secretary of Commerce and consists of distinguished leaders from all sectors of the US economy.
The board of Overseers evaluates all aspects of the program, including the adequacy of the criteria and processes for determining award recipients. An important part of the board's responsibility is to assess how well the program is serving the national interest. Accordingly, the board makes recommendations to the Secretary of Commerce and to the Director of NIST regarding changes and improvements in the program.

Sunday, July 15, 2007

Asam Urat dengan kedelai ??

Apa akibatnya jika setiap hari selalu mengkonsumsi susu kedelai hasil buatan sendiri (alat khusus untuk membuat susu kedelai langsung siap diminum)?, Apakah bisa menyebabkan kadar asam urat pada darah akan meningkat?

Penyakit asam urat sering dikaitkan dengan penyakit rematik. Padahal asam urat adalah suatu keadaan hiperuricemia, di mana kalau dalam pemeriksaan darah akan didapatkan kadar >7 mg/dL untuk pria dan >6 mg/dL untuk wanita.
Penyakit yang didiagnosis sebagai penyakit rematik termasuk rheumatoid arthritis (RA), sindroma lupus eritematosus (SLE), osteoarthritis (OA), gout, pseudo gout, dan lain-lain. Bahkan sampai ke penyakit yang menimpa pada jari para perokok, yaitu penyakit Buerger (thromboangiitis obliterans)
Hiperuricemia pun berbeda dengan Hiperuremia. Pada keadaan hiperuremia di mana ureum-nya tinggi, terjadi pada orang dengan gagal ginjal. Hiperuicemia atau kadar asam urat tinggi biasanya akibat makanan yang mengandung banyak purin.
Contoh makanan dari hewan yang kaya dengan purin adalah jeroan termasuk ati dan otak, sardines, herring, dan mackerel. Sedangkan yang dari tumbuh-tumbuhan adalah asparagus, spinach, mushrooms, green peas, lentils, dried peas, beans, oatmeal, wheat bran dan wheat germ, tapi itu semua tidak begitu tinggi kadar purinnya dibanding dengan yang dari hewan tadi.
Tidak ada batasan gelas untuk susu kedelai, karena tubuh kita sendiri memproduksi asam urat, untuk metabolisme tubuh. Yang perlu dikhawatirkan bila hobi dengan makanan daging-dagingan seperti yang disebut di atas. Mungkin lebih baik menjadi vegetarian.

Thursday, July 12, 2007

INFORMASI OBAT-OBATAN

Pada saat kita berobat kerumas sakit atau dokter kemudian mendapat resep, perhatikan jenis obat yang diterima agar kita mengetahui obat apa yang kita konsumsi dan fungsinya, fungsi obat yangtertera di kemasan botol biasanya ditutupi oleh pihak apotek agar orang tidak sembarangan membeli obat dengan bebas atau pada kemasan kapsul atau tablet malah tidak ada sama sekali tentang informasi obat itu sendiri yang tertera hanya merek, pembuat dan tanda jenis obat.
Degan hal tersebut diatas kita menjadi buta tentang obat yang kita konsumsi, yang penting itu diberikan oleh dokter dan kita tinggal telan. kondisi demikian sebetulnya berlaku untuk obat yang tidak boleh dibeli tanpa resep dokter sedangkan jenis obat itu sendiri ada yang dapat dijual bebas dengan simbol lingkaran hijau, selain itu tidak ada salahnya kita mengetahui jenis obat dan fungsinya yang kita konsumsi, untuk itu sekarang ada situs yang dapat memberi anda informasi tentang obat yang mungkin sedang anda konsumsi silahkan Pak Didik kunjungi alamat URL berikut
http://www.medicastore.com/cybermed/caridata.php anda tinggal masukan merek obat kedalam text box pada halaman tersebut dan taraaaaa.... sekarang anda jadi mengetahui informasi tentang obat yang dimaksud, tetapi ingat ini hanya untuk informasi tentang obat, sedangkan bila ingin membeli obat harus mematuhi aturan sesuai dengan katagori yang dimaksud sebagaimana simbol yang tertera pada kemasannya yaitu lingkaran hijau, biru, dan merah

Monday, July 9, 2007

Assessment

Pada tanggal 10 s/d 12 Juli 2007, telah dilakukan assessment Sistem Sumbang Saran yang diikuti 28 orang dari sekitar 62 orang yang telah mengirimkan sistem saran ke Divisi PPMK. Sisanya telah dilakukun assesment pada semester I tahun 2007.. Asessment ini merupakan bagian dari beberapa assessment yang dilakukan di PT. KS, diantaranya 5R, Tim Improvement (gugus mutu) dan Kinerja Perusahaan. Dimana tujuan dari assessment ini adalah mendorong kinerja Perusahaan untuk menjadi lebih baik, sehingga Perusahaan Jaya dan karyawan SEJAHTERA..

Untuk Assessment Tim Improvement akan dilaksanakan pada tanggal 23 Juli 2007. Sekitar 90 an Tim akan diassess.